Bahtsul Masail

Kaget Bunyi Keras Knalpot, Nyawa Melayang

Seorang nenek (50 tahun) meninggal saat sedang menyirami tumbuhan yang ia tanam di halaman rumahnya. Ia diduga meninggal mendadak setelah mendengar bunyi keras knalpot motor yang melintas di jalan di depan rumahnya. Seorang tetangga, mendapati korban sudah tergeletak di halaman. Ia keluar rumah karena juga terganggu dengan bunyi sepeda tersebut. Ia mencoba menyadarkan korban, namun usahanya tidak berhasil. Ia pun mencari bantuan dan membawa korban ke rumah sakit.

Setelah sampai di rumah sakit korban diarahkan ke ruang IGD untuk segera mendapat tindakan. Para tetangga yang mengantar korban tak bisa menyembunyikan mimik cemas. Mereka tahu riwayat penyakit jantung korban. Belum lama ini korban baru keluar dari rumah sakit.Kecemasan warga pecah menjadi tangis, ketika mendengar kabar korban meninggal dunia.

Lantas, apakah tindakan yang dilakukan oleh pemotor tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan pembunuhan? Dan, apakah ia harus bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa sang nenek?

Berkaitan dengan kejadian tersebut, dalam kitab Raudhah at-thalibin wa umdatul muftiin dijelaskan:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ إِذَا وَجَدَ الْقَصْدَانِ وَعَلِمْنَا حُصُولَ الْمَوْتِ بِفِعْلِهِ، فَهُوَ عَمْدٌ مَحْضٌ

وَالثَّانِي: إِنْ ضَرَبَهُ بِجَارِحٍ، فَالْحُكْمُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ ضَرَبَهُ بِمُثْقِلٍ، اعْتُبِرَ مَعَ ذَلِكَ فِي كَوْنِهِ عَمْدًا أَنْ يَكُونَ مُهْلِكًا غَالِبًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُهْلِكًا غَالِبًا، فَهُوَ شِبْهُ عَمْدٍ إِلَى أَنْ قَالَ: بَلْ تَجِبُ الدِّيَةُ

Pertama: jika seseorang mempunyai dua tujuan (berniat membunuh atau tidak) dan kita mengetahui bahwa kematian itu terjadi akibat perbuatannya, maka itu dianggap pembunuhan yang – sepenuhnya – disengaja (‘amdun mahdlun).

Kedua: Jika dia memukulnya dengan benda tajam (yang bisa melukai pada umumnya), maka hukum yang berlaku sebagaimana yang telah kita sebutkan. Dan jika dia memukulnya dengan sesuatu yang tumpul, maka untuk dianggap sebagai tindakan yang disengaja (‘amdin) jika pukulan tersebut biasanya mematikan. Jika pukulan tersebut biasanya tidak mematikan, maka itu dianggap sebagai pembunuhan seperti disengaja (syibhu amdin).

Namun, ganti rugi (diyat) itu menjadi wajib baginya.

Menambahi keterangan tersebut, ada redaksi yang terdapat dalam kitab al-Mulakhkhas al-Fiqh:

وَيَجْرِي مَجْرَى الْخَطَأِ أَيْضًا الْقَتْلُ بِالتَّسَبُّبِ؛ كَمَا لَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ حُفْرَةً فِي طَرِيقٍ أَوْ قَفَّ سَيَّارَةً، فَتَـلَفَ بِسَبَبِ ذَلِكَ إِنْسَانٌ. وَيَجِبُ بِالْقَتْلِ الْخَطَأِ الكَفَّارَةُ فِيْ مَالِ الْقَاتِلِ

Juga termasuk dalam kategori kesalahan adalah pembunuhan yang disebabkan; seperti jika dia menggali sumur atau lubang di jalan, atau memarkir kendaraan, sehingga menyebabkan kerugian pada seseorang. Dan ganti rugi wajib dalam kasus pembunuhan yang dilakukan dengan cara kesalahan (khata’)”

Berdasarkan dari keterangan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemotor termasuk dalam kategori pembunuhan. Namun, menimbang tidak diketahuinya tujuan pemotor tersebut dan pada umumnya bunyi keras knalpot tidak menimbulkan kematian, maka bisa dikategorikan sebagai pembunuhan seperti sengaja (syibhul amdi).

Atau, menimbang ketidak tahuan pemotor pada keberadaan korban saat berkendara, maka yang dilakukan pemotor bisa disebut pembunuhan karena kesalahan (qatlu al-khatha’). Terlepas apun jenis pembunuhannya, dari keterangan di atas, pemotor wajib membayar ganti rugi atas apa yang ditimbulkannya.

Berkendara bukan hanya soal menghemat waktu untuk sampai di tujuan. Berkendara juga soal menjaga keselamatan selama berkendara hingga sampai di tujuan. Keberadaan orang di sekitar juga harus diperhatikan. Jangan sampai hanya untuk mendapat perhatian saat berkendara, ada nyawa yang dikorbankan.

Bahtsul Masail: Dilema Membatalkan Shalat (Bagian 2)

Hal yang memperbolehkan membatalkan shalat

Selain hal yang boleh membatalkan shalat sebab darurat, ada juga yang membolehkan membatalkan shalat sebab udzur. Berikut beberapa udzur yang membuat seseorang boleh membatalkan shalatnya:

وَأَمَّا مَا يَجُوْزُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لَهُ وَلَوْ فَرْضًا لِعُذْرٍ فَهُوَ مَا يَأْتِيْ: سَرِقَةُ الْمَتَاعِ، وَلَوْ كَانَ الْمَسْرُوْقِ لِغَيْرِهِ، إِذَا كَانَ الْمَسْرُوْقِ يُسَاوِي دِرْهَماً فَأَكْثَرَ. خَوْفُ الْمَرْأَةِ عَلَى وَلَدِهَا، أَوْ خَوْفُ فَوَرَانِ الْقِدْرِ، أَوْاحْتِرَاقِ الطَّعَامِ عَلَى النَّارِ. وَلَوْ خَافَتْ الْقَابِلَةُ (الدَّايَةُ) مَوْتَ الْوَلَدِ أَوْ تَلَفَ عُضْوٌ مِنْهُ، أَوْ تَلَفَ أُمُّهُ بِتَرْكِهَا، وَجَبَ عَلَيْهَا تَأْخِيْرُ الصَّلَاةِ عَنْ وَقْتِهَا، وَقَطْعُهَا لَوْ كَانَتْ فِيْهَا. مَخَافَةُ الْمُسَافِرِ مِنَ اللُّصُوْصِ أَوْ قِطَاعِ الطُّرُقِ. قَتْلُ الْحَيَوَانِ الْمُؤْذِي إِذَا اِحْتَاجَ قَتْلَهُ إِلَى عَمَلٍ كَثِيْرٍ. رَدُّ الدَّابَّةِ إِذَا شَرَدَتْ. مُدَافَعَةُ الْأَخْبَثَيْنِ (البَوْلِ وَالْغَائِطِ) وَإِنْ فَاتَتْهُ اْلجَمَاعَةُ. نِدَاءُ أَحَدِ الْأَبْوَيْنِ فِيْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ، وَهُوَلَا يَعْلَمُ أَنَّهُ فِي الصَّلَاةِ، أَمَّا فِيْ الْفَرِيْضَةِ فَلَا يَجِيْبُهَ إِلَّا لِلضَّرُرِ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Ketakutan tercurinya harta benda. Meskipun harta yang dicuri adalah milik orang lain. Dengan nilai harta setara satu dirham dan lebih.

Ketakutan perempuan pada anaknya, meluapnya air dalam ketel, hangusnya makanan yang dimasak menggunakan api.

Ketakutan musafir dari perampok atau begal.

Membunuh hewan yang berbahaya baginya, jika membutuhkan banyak gerakan untuk membunuhnya.

Mengembalikan hewan peliharaan yang terlepas

Menyingkirkan najis (urin dan kotoran) meskipun melewatkan shalat berjama’ah.

Memenuhi panggilan orang tua, pada waktu shalat sunnah.

Jawaban

Lantas, apakah membatalkan shalat karena kedatangan Ibu Nyai tersebut bisa dibenarkan? Jawabannya adalah tidak bisa dibenarkan. Keterangan ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Islamiyah Al-Kuwaitiyah juz 34 halaman 51. Di sana dikatakan:

قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ ، لأِنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ.

Memutus ibadah wajib setelah berlangsungnya tanpa adanya alasan syar’i adalah tidak diperbolehkan. Hal ini telah disepakati oleh para ahli fikih. Sebab, membatalkan ibadah tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syariat adalah termasuk mempermainkan ibadah yang dapat menghilangkan kemuliaannya.

Kehadiran Ibu Nyai, sebagaimana dalam masalah di atas adalah terlambat. Sementara sudah ada santri senior yang sudah dianggap mampu menjadi imam menggantikannya. Tindakan para santri membatalkan shalat tidaklah dibenarkan, sebab hadirnya Ibu Nyai tersebut bukan termasuk darurat ataupun udzur yang memperbolehkan dibatalkannya shalat. Wallahu a’lam.

Referensi:

Al-Fiqhu wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaily

Al-Mausuah Al-Islamiyah Al-Kuwaitiyah, Kementerian Agama Islam Kuwait

Bahtsul Masail: Dilema Membatalkan Shalat (Bagian 1)

Soal

Permasalahan yang diangkat dalam musyawarah ini adalah dilema membatalkan shalat. Kasusnya, Ibu nyai yang biasa jadi imam terlambat datang. Waktu shalat akan segera habis, maka majulah santri senior menjadi imam. Ternyata, dipertengahan shalat datanglah Ibu Nyai.

Pertanyaan yang diangkat dalam bahtsul masail ini ada dua. Pertama, bagaimanakah hukum membatalkan shalat sesuai permasalahan di atas? Kedua, apakah dibenarkan tindakan santri membatalkan shalat tadi menurut pandangan fikih?

Sebagaimana diketahui bahwa shalat adalah ibadah yang mengharuskan tumakninah pelakunya. Bergerak lebih dari tiga kali dihukumi dapat membatalkan shalat. Lantas, apakah diperbolehkan membatalkan shalat gara-gara kasus seperti di atas?.

Hal yang memperbolehkan membatalkan shalat

Ibadah shalat dibuka dengan takbiratul ihram dan ditutup dengan salam. Ketika seseorang telah melakukan takbiratul ihram, maka menjadi haram melakukan hal-hal yang membatalkan shalat. Melakukan gerakan di luar gerakan shalat misalnya. Jika ia sampai bergerak lebih dari tiga kali, maka shalatnya batal.

Hukum asal membatalkan shalat adalah haram. Namun, dalam literatur fiqh disebukan beberapa keadaan yang memperbolehkan untuk membatalkan shalat. Berikut penjelasannya dalam Al-Fiqhu wa Adillatuhu Juz 2 hlm. 1053-1054.

مَا تُقْطَعُ الصَّلَاةُ لِأَجْلِهِ: قَدْ يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لِضَّرُوْرَةِ، وَقَدْ يُبَاحُ لِعُذْرٍ. أَمَّا مَا يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لَهُ لِضَرُوْرَةٍ فَهُوَ مَا يَأْتِيْ: تُقْطَعُ الصَّلَاةُ وَلَوْ فَرْضًا بِاسْتِغَاثَةِ شَخْصٍ مَلْهُوْفٍ، وَلَوْ لَمْ يَسْتَغِثْ بِالْمُصَلِّيْ بِعَيْنِهِ، كَمَا لَوْ شَاهَدَ إِنْسَاناً وَقَعَ فِي الْماَءِ، أَوْ صَالَ عَلَيْهِ حَيَوَانٌ، أَو اِعْتَدَى عَلَيْهِ ظَالِمٌ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى إِغَاثَتِهِ. وَلَا يَجِبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قَطْعُ الصَّلَاةِ بِنِدَاءِ أَحَدِ اْلأَبْوَيْنِ مِنْ غَيْرِ اِسْتِغَاثَةٍ؛ لِأَنَّ قَطْعَ الصَّلَاةِ لَا يَجُوْزُ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ.  وَتُقْطَعُ الصّلَاةِ أَيْضاً إِذَا غَلَبَ عَلَى ظَنِّ الْمُصَلِّي خَوْفُ تَرَدِّيِ أَعْمىَ، أَوْ صَغِيْرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا فِي بِئْرٍ وَنَحْوِهِ. كَمَا تُقْطَعُ الصَّلَاةُ خَوْفَ انْدِلَاعِ النَّارِ وَاحْتِرَاقِ الْمَتَاعِ وَمُهَاجَمَةِ الذَّئِبِ الْغَنَمِ؛ لَمَّا فِي ذَلِكَ مِنْ إِحْيَاءِ النَّفْسِ أَوِالْمَالِ، وَإمْكَانِ تُدَارِكُ الصَّلَاةُ بَعْدَ قَطْعِهَا، لِأَنَّ أَدَاءَ حَقِّ اللهِ تَعَالَى مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُسَامَحَةِ

Membatalkan shalat adakalanya wajib dan adakalanya boleh. Wajibnya seseorang untuk membatalkan shalat karena ada kondisi darurat yang mengharuskan mengakhiri shalat walaupun belum selesai. Sementara kebolehan meninggalkan shalat karena adanya udzur.

Berikut kondisi darurat yang mewajibkan seseorang meninggalkan shalat,

Pertama, menolong orang lain yang berpotensi kehilangan nyawa; orang yang tenggelam, diterkam hewan, terdzalimi. Juga, orang buta dan anak kecil yang bias terjatuh ke dalam sumur.

Kedua, menjaga kehilangan harta benda yang dimilikinya. Misal  menjaganya dari kebakaran atau menjaga hewan ternak yang hendak dimangsa hewan buas.

Kedua hal ini harus disertai dugaan kuat, ia masih bisa melaksanakan shalat sesuai waktunya. Bagaimanapun, shalat adalah perintah Allah untuk hambanya yang bersifat wajib. Dan melaksanakan perintah Allah Swt adalah kemutlakan yang tidak bisa ditawar dengan kepentingan apapun.

Bahtsul Masail: Jual Beli Buket Uang, Apa Hukumnya?

Menjadi trend akhir-akhir ini, hadiah berupa buket  dengan ragam isian dalam berbagai perayaan. Bertahun lalu, lazimnya buket hanya berisi aneka bunga. Tapi, tidak hari ini. Isian buket sekarang lebih bervariasi mulai makanan ringan, rokok, kosmetik, hingga uang.

Trend ini tak luput dari perhatian santri Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Ditambah lagi beberapa waktu yang lalu serangkaian acara wisuda dilaksanakan di Al Fithrah. Dan, berbagai bentuk buket dibawa oleh wali santri untuk diberikan kepada putra-putrinya yang diwisuda.

Trend ini diangkat dalam Bahtsul Masa’il perdana, 14 Juni 2023 yang diadakan di Auditorium Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Di hadiri oleh santri putra perwakilan dari setiap kelas sebagai musyawirin, juga asatidz sebagai perumus dan mushahih.

Rumusan masalah

Pertanyaan diajukan oleh santri kelas XII C PDF Ulya Al FIthrah, dengan fokus hukum dan jenis akad jual beli buket dengan isian uang. Ada dua macam transaksi yang disertakan dalam pertanyaan.

Pertama, penjual hanya menjual buket kosong dan pembeli tinggal menempatkan uang sesuai dengan jumlah yang diinginkan.

Kedua, penjual menjual buket yang sudah berisi uang di dalamnya, dan pembeli membayar dengan nominal yang telah ditentukan

Jalannya bahtsul masail

Bahtsul Masail berjalan dengan perwakilan masing-masing kelas meyodorkan berbagai tawaran jawaban. Jawaban yang ditawarkan juga disertai ibarat yang diambil dari kutubut turats sebagai bentuk pertanggung jawaban ilmiyah.

Berbagai tawaran jawaban itu dikumpulkan di forum perumus, untuk dipilah yang sama dan yang berbeda. Tawaran jawaban yang terkumpul didiskusikan ulang, terkait keabsahan ibarat dan ketepatan menyimpulkan teks yang diambil dari kutubut turats.

Hasil diskusi ini, kemudian menjadi rumusan jawaban yang selanjutnya ditashih oleh ustadz yang memang ahli di bidang ini.

Hukum yang dihasilkan

Mufakat Bahtsul Masa’il menyatakan bahwa hukum jual beli buket uang seperti dalam rumusan masalah ini adalah boleh. Kebolehan ini meninjau dua jenis akad yang bisa dilaksanakan.

Pertama, merujuk teks dalam kitab Fiqh al-Manhaji juz 6 hlm. 120, penjual-pembeli menggunakan akad ijarah. Dalam akad ini pembeli membayar jasa penjual yang sudah membuatkan buket. Selanjutnya pembeli mengisi buket dengan uang sendiri, sebagaimana transaksi pertama dalam rumusan masalah.

الفقه المنهجي (6/ 120)

وكذلك يشترط لصحة الإجارة علي عمل : أن يبيّن نوع العمل الذي سيقوم به الأجير. العلم بقدر المنفعة : ويختلف تقدير المنفعة باختلاف نوعها : فمنها ما يُقدَّر بالزمن ، ومنها ما يقدر بالعمل ، ومنها ما يصحّ فيه الأمران

أ ـ فما تقدر فيه المنافع بالزمن : هو كل منفعة لا يمكن ضبطها بغيره وتقلّ وتكثر، أو تطول وتقصر، كإجارة الدور للسكني ، فإن سكني الدار تطول وتقصر ، وكالإجارة للإرضاع ، فإن ما يشربه الرضيع من اللبن يقلّ ويكثر ، وكالإجارة لتطيين جدار ، فإن التطيين لا ينضبط رقّة وسماكة

ب ـ ما تقدر فيه المنافع بالعمل : وذلك إذا كانت المنفعة معلومة في ذاتها ولكنها قد تستغرق زمناً يقصر أو يطول ، فلا يمكن ضبطها به. وذلك كالاستئجار لخياطة ثوب ، وطلاء جدار ، وطبخ طعام ، ونحو ذلك

فإن مثل هذه المنافع تقدّر بالعمل ولا تقدّر بالزمن ، لأن الزمن فيها قد يطول وقد يقصر ، بينما العمل فيها منضبط ومحدد.

جـ – ما يصحّ تقدير المنفعة فيه بالزمن أو العمل : وذلك كاستئجار شخص لخياطة أو سيارة للركوب ، فيصحّ تقدير المنفعة بالزمن كأن يستأجر يوماً ليخيط هذا الثوب . ويصحّ أن يستأجر السيارة لتوصله من دمشق إلي مكة مثلاً ، فيكون تقدير المنفعة بالعمل ، ولا ينظر إلي ما يستغرق من الوقت ، كما يصحّ أن يستأجر السيارة يوماً أو يومين ، فتكون المنفعة مقدرة بالزمن ، سواء قطع بها المسفة أم لا ، وركبها أم لا

Kedua, merujuk teks dalam kitab Mugni al-Muhtaj juz 2 hlm. 25, penjual-pembeli menggunakan akad bai’. Dalam akad ini penjual dengan menjual buket beserta uang di dalamnya dengan nominal tertentu. Sesuai dengan bentuk transaksi yang kedua. Bahtsul Masail juga menyimpulka transaksi seperti ini bukan termasuk riba.

مغني المحتاج (2/ 25)

وعلة الربا في الذهب والفضة جنسية الأثمان غالبا كما صححه في المجموع ويعبر عنها أيضا بجوهرية الأثمان غالبا وهي منتفية عن الفلوس وغيرها من سائر العروض لا أنها قيم الأشياء كما جرى عليه صاحب التنبيه لأن الأواني والتبر والحلي تجري فيها الربا كما مر وليست مما يقوم بها  واحترز ب غالبا عن الفلوس إذا راجت فإنه لا ربا فيها كما تقدم ولا أثر لقيمة الصنعة في ذلك حتى لو اشترى بدنانير ذهبا مصوغا قيمته أضعاف الدنانير اختبرت المماثلة ولا نظر إلى القيمة

Tetap menjaga kehati-hatian

Hukum yang dihasilkan dalam Bahtsul Masail ini sudah disertai rujukan dan sudah didiskusikan dengan dalam. Meskipun demikian, mushahih dalam Bahtsul Masail ini masih menekankan pentingnya menjaga adab dan etika dalam melakukan transaksi jual beli.

Alih-alih perbuatan memberi hadiah membuahkan pahala, justru malah memerosokkan pelakunya pada jurang riba. Hal ini tentu tidak diingikan oleh siapapun. Oleh karena itu kahati-kehatian tetap harus dijaga dalam melakukan transaksi jual beli.

MKPI (Majlis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah) Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah secara rutin mengadakan Bahtsul Masail setaiap bulan. Harapannya Bahtsul masail menjadi ruang diskusi santri pada masalah teraktual, dan alat berproses dalam merumuskan hukum.

(ahm/dfn)

SHALAT ISYA’, KAPAN YANG LEBIH UTAMA ?

Pertanyaan:

Apa ada hadits yang menyebutkan bahwa shalat Isya afdlolnya pukul 12 malam, karena dilanjut dengan shalat hajat ?

Jawaban:

Mengenai keutamaan shalat Isya’ kapan dilakukan, dalam hal ini memang ada beberapa hadits shahih. Di antaranya:

  1. Diriwayatkan dari Sayyidina Abu Barzah RA, bahwa Rasulullah SAW senang mengakhirkan shalat Isya’ (HR. Bukhari-Muslim). Mayoritas ulama mengomentari hadits ini bahwa, shalat Isya’ yang lebih utama tetap dilakukan di awal waktu, sebab Rasulullah RAW kontinyu atau istiqamah melakukannya di awal waktu. Artinya, hadits ini bukan sabda Beliau secara langsung, melainkan berita dari Sayyidina Abu Barzah RA sebagai perawi hadits ini. Sayyidina Abu Barzah RA, mengatakan demikian, karena memang Rasulullah SAW terkadang mengakhirkan shalat Isya’, dan hal ini sebagai dalil kebolehan mengakhirkan shalat Isya’, bukan sebagai dalil keutamaan mengakhirkannya.
  2. “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan terhadap umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat Isya’ sampai pada sepertiga malam (pertama) atau separuh malam (pukul 12)” (HR. Ahmad, Ibu Majah, Tirmidzi, & Hakim).
  3. Diriwayatkan dari Sayyidina Anas RA, bahwa Rasulullah SAW mengakhirkan shalat Isya’ sampai separuh malam” (HR. Bukhari-Muslim).
  4. Diriwayatkan dari Sayyidina Ibnu Amar RA: “Waktu shalat Isya’ adalah sampai separuh malam” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, & Nasa’i).

Hadits-hadits di atas, bila ditinjau secara lahiriyahnya menganjurkan agar shalat Isya’ diakhirkan sampai pada pertengahan malam. Akan tetapi ada hadits shahih lain yang menjelaskan bahwa yang lebih utama, semua shalat lima waktu dikerjakan di awal waktu. Diceritakan dari Sayyidia Abdullah RA, ia berkata: “saya bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amal yang paling utama”, lalu Beliau menjawab: “Shalat di awal waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah”. Sayyidina Abdullah RA berkata: “Seandainya aku minta tambah kepada Beliau, niscaya Beliau akan menambahnya” (HR. Ahmad).

Dari hadits-hadits tersebut, kemudian para ulama berbeda pendapat:

  • Madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa, shalat Isya’ lebih utama dilakukan di awal waktu.
  • Madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa, shalat Isya’ sunnah untuk diakhirkan sampai sebelum sepertiga malam yang pertama.
  • Madzhab Hanabilah mengatakan bahwa, shalat Isya’ yang lebih utama adalah dilakukan pada sepertiga malam pertama atau pada pertengahan malam. Itupun jika tidak memberatkan.

Pendapat yang menyebutkan bahwa shalat Isya’ lebih utama untuk diakhirkan tetap mengatakan bahwa, keutamaan tersebut jika: shalat tadi tetap dilakukan secara berjamaah. Tapi jika tidak, maka yang lebih utama adalah dilakukan di awal waktu secara berjamaah.

Mengenai shalat hajat, ia tak harus dilakukan setelah shalat Isya’. Bahkan bisa dilakukan setiap ada hajat atau urusan yang ingin diberi kelapangan. Dan di Pondok Pesantren Al Fithrah Kedinding, shalat hajat dilakukan secara istiqamah setelah shalat Isya’ berjamaah di awal waktu.

 

Referensi:

Al Mahally: 1/130-133

Al Madzahibul Arba’ah: 1/194

Ihkamul Ahkam: 1/104 Al Fiqhul Islami: 1/671-674