Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan tiga keistimewaan manusia menurut KH. Achmad Asrori al-Ishaqy yang dikaji oleh Ust. Abu Sari dalam kajian al-Muntakhobat. Selain tiga keistimewaan sebelumnya, Ust. Abu juga memaparkan keistimewaan manusia lainnya yang ditulis Kiai Asrori dalam kitabnya, al-Muntakhobat.
Keempat, Allah jadikan hati manusia menurut fitrahnya yaitu layak dan pantas untuk menerima kebenaran yang bersifat absolut atau empiris, dapat menerima hakikat pengetahuan dan siap menerima amanah serta tanggung jawab. Kiai Asrori dalam bagian ini menyebutnya dengan term qalb (hati) karena hati sebagaimana dijelaskan al-Ghazali, ialah sumber pengetahuan. Melalui hati, terdapat energi yang mengirim sinyal pada otak.
Berbicara mengenai fitrah, banyak para ulama’ memberikan interpretasi yang berbeda. Diantaranya ada yang mengartikan bahwa fitrah memiliki hubungan dengan QS. al-A’raf ayat 172, utamanya pada peggalan ayat alastu birobbikum qolu bala syahidna artinya “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.”. Fitrah pada pendapat ini ialah mengenai keyakinan kita kepada Allah.
Berikutnya, makna fitrah yang berhubungan dengan hadis Nabi yang artinya, “setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya” (H.R Bukhari dan Muslim). Bayi yang baru lahir, ibarat kertas putih yang masih bersih, tinggal tinta apa yang akan ditorehkan, jika bayi dididik dengan wawasan-wawasan maka ia akan berpengetahuan luas. Terakhir maksud dari fitrah ialah potensi.
Menurut pendapat terakhir ini fitrah dibagi dua yaitu aqliyah dan jasadiyah. Maksud fitrah aqliyah adalah akal manusia bisa menerima kebenaran-kebenaran atau fakta empiris dan kedua, fitrah jasadiyah adalah fitrah yang terkait dengan asal potensi dan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. Dari klasifikasi fitrah tersebut, dapat dipahami bahwa fitrah yang dikehendaki oleh Kyai Asrori pada bagian empat ini adalah fitrah yang orientasinya pada potensi baik potensi aqliyah atau jasadiya, sebagaimana penjelasan di atas.
Kelima, Allah jadikan manusia sebagai penguasa terhadap seluruh fenomena dalam kehidupan karena manusia diutus oleh Allah di bumi sebagai khalifah (pemimpin). Khalifah yang dimaksud di sini adalah manusia di muka bumi sebagai pengganti Allah dalam merealisasikan dan menerapkan hukum-hukum Allah serta perintah-perintahnya, termasuk dalam menegakkan keadilan dan menjaga hak asasi manusia.
Selain itu, Allah juga mengutus manusia sebagai pemakmur di bumi hal ini termaktub dalam Surah al-Hud ayat 61 yang artinya, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya…”. Secara tidak langsung, ayat ini menjelaskan, manusia diutus oleh Allah selain sebagai khalifah juga sebagai pemakmur dengan cara menggali potensi-potensi alam yang bisa memberikan manfaat pada dirinya dan orang lain.
Keenam, Allah membuka dan memberikan manusia berbagai macam pengetahuan bahkan manusia dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan pemahaman yang tidak Allah berikan pada yang lain. Penggalian kyai Asrori pada keistimewaan manusia di bagian ini ialah berlandaskan dialog Allah dengan malaikat yang dapat ditemukan dalam surah al-Baqarah ayat 30-33. Secara garis besar ayat-ayat yang saling berkelindan ini mengandung dua substansi yakni manusia sebagai khalifah dan Allah memberikan pengetahuan luar biasa kepada manusia.
Ketujuh, Allah jadikan manusia sebagai jalinan dari alam semesta melalui bentuknya. Artinya, bentuk manusia yang Allah ciptakan memiliki keserupaan dengan bentuk alam. Jika ditinjau dari kajian kosmologi, alam dibagi menjadi dua yaitu mikro kosmis (alam kecil) dan makro kosmis (alam besar). Pada kajian ini manusia berada pada bagian pertama yaitu mikro kosmis dan alam adalah makro kosmis.
Namun, tidak menutup kemungkinan, manusia bisa menjadi makro kosmis ketika derajatnya naik karena kemakrifatannya kepada Allah, sebaliknya alam yang menjadi mikro (kecil). Dalam kata lain, derajat ini bisa dicapai ketika ruhaniyahnya bisa mengalahkan basyariyahnya.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasannya keutaman yang Allah berikan kepada manusia merupakan bentuk kemuliaan, sebagaimana tercermin dalam surah al-Isra’ ayat 70 “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.
Pada sisi lain dengan segala kemampuan yang Allah berikan, manusia juga memiliki tugas sebagai khalifah (pemimpin) dan mustamir (pemakmur) di muka bumi, artinya manusia memiliki peran utama dalam menegakkan hukum-hukum Allah dan melestarikan potensi alam, menjaga keadilan, kemakmuran, termasuk keseimbangan ekologi dan selainnya. Sehingga, untuk menjaga kemuliaan dan keutamaan yang Allah anugerahkan tersebut, seyogianya manusia dapat mengoptimalisasikan potensi dirinya, termasuk dengan mengasah spiritual dan intelektual.
Dirangkum dari Kajian al-Muntakhabat oleh Majelis Kebersamaan dalam Pembahasan ilmiah (MKPI) pada Rabu (12/06/2024)
- Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (3) - July 30, 2024
- Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (2) - July 30, 2024
- Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (1) - July 30, 2024