alkhidmah

Lupa Tidak Berniat Puasa Ramadhan di Malam Hari

Di Indonesia, umumnya niat puasa Ramadhan dibaca bersama-sama setelah rangkaian salat Tarawih dan Witir. Praktik seperti ini juga dijumpai di ponpes Al Fithrah. Hal ini tentu baik, mengantisipasi kealpaan dalam berniat secara sendiri di malam hari.

Berniat puasa Ramadhan di malam hari, sudah sesuai dengan yang telah Rasulullah SAW tuntunkan;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامُ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلِا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak menginapkan (niat) puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.

Ulama’ fiqh menafsiri lafadz tabyit dengan waktu antara matahari tenggelam hingga terbitnya fajar. Dan, dalam Madzhab Syafi’i, tabyit menjadi syarat niat dalam puasa wajib, termasuk puasa Ramadhan. Lalu, bagaimana jika seseorang lupa berniat di malam hari?

Solusi bagi yang lupa tidak berniat puasa di malam hari

Ulama’ fiqh Madzhab Syafi’i bersepakat bahwa orang yang lupa tidak berniat puasa wajib di malam hari, puasanya tidak sah. Meskipun begitu, orang tadi tetap wajib melakukan puasa di hari itu dan menggantinya di bulan lain.

Beruntungnya kita, para ulama’ tidak hanya merumuskan hukum suatu masalah saja. Mereka juga menyertakan solusi pada sebuah masalah yang mereka kaji. Termasuk perihal lupa tidak berniat di malam hari.

Solusi jika seseorang lupa berniat di malam hari, ia masih bisa berniat di pagi hari dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Waktu berniat ini dimulai ketika ia sadar bahwa belum berniat sebelumnya.

Redaksi niatnya seperti berikut,

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ، تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ، لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hadzal yaumi ‘an adaa-i fardhi ramadlaani hadzihis sanati, taqliidan lil imaami abi haniifata, lilllahi ta’ala.

Aku berniat puasa hari ini demi menunaikan kewajiban (bulan) Ramadhan tahun ini, dengan mengikuti Imam Abu Hanifah, karena Allah Ta’ala

Dengan berniat seperti ini, puasa orang berniat setelah fajar akan tetap sah menurut Madzhab Hanafi. Namun, jika seseorang berniat di awal hari tanpa disertai bertaqlid pada Imam Abu Hanifah, maka dianggap mencapur adukkan ibadah yang rusak dalam keyakinannya.  Dan, yang seperti ini hukumnya haram.

Kesimpulan

Solusi dari Ulama’ Madzhab Syafi’iyah, jika seseorang lupa berniat di malam hari, ia masih bisa berniat di pagi hari dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Waktu berniat ini dimulai ketika ia sadar bahwa belum berniat sebelumnya. Perlu diingat, solusi ini berlaku bagi yang lupa berniat, bukan yang sengaja tidak berniat.

Wallahu a’lam

Referensi:
I’anatu al-Thalibin, juz 2 hlm 249
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 2 hlm. 299
Tuhfatu al-Muhtaj, juz 3 hlm 378
Fiqhu al-‘Ibaadaat ‘alaa Madzhabi al-Syafi’I, juz 2 hlm 9

Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (3)

Upgradeable dan Limitation Akal

Istilah upgradeable di sini ialah berasal dari kata bahasa Inggris berupa “upgrade” yang memiliki arti “meningkatkan” sedangkan upgradeable ialah berarti bisa untuk ditingkatkan. Adapun limitation memiliki makna keterbatasan. Pada bagian ini pemateri mencoba untuk mengeksplorasi adanya peningkatan potensi dan sekaligus keterbatasan akal melalui teks yang ada dalam kitab al-Muntakhabat.

Syaikh al-Harits al-Muhasibi menyebutkan bahwa akal pada awalnya ialah berada pada tingkatan al-gharizi namun hal ini bisa diupgrade atau ditingkatkan derajatnya mencapai akal iktisab atau kasbi dengan cara melakukan eksperimen, digunakan untuk berfikir, menganalisis dan instalasi ilmu pengetahuan. Ini merupakan penjelasan upgradeable akal itu sendiri.

Adapun limitation-nya atau kondisi di mana akal tidak dapat diupgrade ialah pada usia maksimal duapuluh delapan tahun. Ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan, “Seorang anak ‘aqil baligh ialah pada usia tujuh tahun, dewasa berusaha empat belas tahun, bertambah tinggi hingga usia dua puluh tahun dan akalnya mencapai kesempurnaan ketika sudah berusia dua puluh delapan tahun. Setelah itu, akalnya tidak bertambah kecuali dengan banyak berlatih”. Artinya, seseorang akan mengalami “perkembangan akal” mulai dari usia tujuh tahun hingga maksimal duapuluh delapan tahun. Jika melewati usia maksimal itu ada kemungkinan ia tidak dapat meningkatkan pengetahuannya kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Sebab itu, dengan adanya eksperimen dan upaya untuk upgrade ilmu pengetahuan itu akan membedakan antara orang yang pintar dan yang bodoh (ahmaq). Hal ini ditegaskan olehh Kyai Asrori dengan mengutip sebagian ulama’ ahli sastra bahwa orang yang berakal (pintar) ialah jika dia sedang dekat dengan seseorang, maka ia akan berusaha untuk mengerahkan segenap pertolongannya. Jika dia sedang dimusuhi, maka ia mampu menghindari kezalimannya dan berkat kepintarannya ini temannya akan bahagia dan orang yang memusuhi akan terlindungi dengan keadilan. Dari sini kemudian pemateri menyebutkan, “orang pintar itu, kepada kawannya bisa melindungi dan kepada lawannya ia bisa mengedukasi”.

Kesimpulan

Melalui penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi akal pada manusia sangatlah penting, selain sebagai controlling agar manusia tidak terjerumus dalam kesesatan syahwat yang mengantarkannya pada kecintaan materi duniawi, akal juga dapat mengantarkan manusia untuk lebih dekat kepada Allah dengan cara terus meng-upgrade-nya sebagaimana disebutkan di atas. Semakin seseorang meningkatkan ilmu pengetahuannya maka agamanya akan semakin kuat, sebaliknya tanpa ilmu pengetahuan eksistensi keagamaannya akan hancur. Maka dari itu, tidak salah kiranya menyebutkan bahwa, “beragama harus dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu”. Ini kemudian yang pemateri sebut dengan “akal spiritualik dan akademik-analitik”.

Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (1)

Kajian al-Muntakhabat tentang akal yang menjadi fokus pembahasan pada tulisan ini merupakan lanjutan dari kajian al-Muntakhabat pada seri sebelumnya yang membahas tentang “khashais al-insan” (Keistimewaan-keistimewaan Manusia). Setelah bab keistimewaan manusia inilah, dapat ditemukan pembahasan akal dan seluk beluknya; mengenai keutamaan, klasifikasi, tempat akal serta komparasi antara ilmu dan akal.

Oleh sebab itu, melalui kajian al-Muntakhabat yang diadakan oleh Majlis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) pada Selasa (23/07), tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan akal dalam al-Muntakhabat oleh Ust. Tajul Muluk melalui kajian tematik dengan judul “Akal: antara Materi dan Potensi”.

Menurut Ust. Tajul, adanya judul ini dilatarbelakangi oleh sebuah pernyataan bahwa setiap manusia memiliki akal yang berfungsi untuk membedakan antara manusia dengan mahluk Allah yang lain. Ironisnya, akal tersebut hanya menjadi materi saja (punya akal tetapi tidak digunakan dengan sesuai fungsinya). Sehingga, ketika sudah pada dimensi ini manusia hanya menggunakan akalnya sebagai materi saja, tidak sebagai materi yang memiliki potensi.

Kemuliaan dan Keutamaan Akal

Dalam pembahasan awal mengenai akal, Kyai Asrori mengutip pendapatnya Imam al-Mawardi, menyatakan bahwa setiap keutamaan itu memiliki basis atau dasarnya dan setiap adab pasti ada sumbernya. Adapun basis keutamaan dan sumber adab ini ialah akal yang diciptakan oleh Allah sebagai pangkal agama dan pilar dunia. Pernyataan Imam al-Mawardi ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa keistimewaan manusia itu berbanding lurus dengan fungsi yang optimal dari akalnya masing-masing. Semakin akal difungsikan secara optimal, seseorang tersebut akan memiliki keutamaan dan moralitas yang baik.

Beberapa hal yang mengindikasikan kemuliaan dan keutamaan ialah: pertama, taklif. Manusia yang sudah lahir ia memiliki akal tetapi belum dikenai hukum taklif. Sehingga, hukum taklif ini berlaku ketika seseorang sudah mumayyiz sebagai barometer awal seorang muslim dikatakan mampu dibebani oleh hukum syari’at. Kedua, tatanan kehidupan sosial. Basis daripada tatanan kehidupan sosial yang baik ialah akal. Salah satu contohnya, dalam ushul al-fiqh dikenal dengan “al-‘adah muhakkamah” yakni perbuatan manusia yang berulang-ulang dan bisa diterima oleh akal, maka dapat dijadikan sebagai acuan hukum.

Ketiga, Akal dapat menjadi jembatan (bridge) dalam relasi sosial. Ibaratnya seorang pasangan suami istri, sebelum menikah idealnya antara laki-laki dan perempuan memiliki basis tersendiri dalam menakar kesesuaian dengan pasangannya, apakah cocok atau tidak. Sehingga, untuk mengetahui kecocokannya tersebut dijembatani oleh akal. Keempat, akal menjadi hulu atau sumber daripada ilmu pengetahuan sebagaimana disebutkan al-Ghazali, “al-aqlu manba’ul ilmi” (akal adalah sumber ilmu pengetahuan).

Kedatangan Santri Baru Al Fithrah Gelombang I

Gelombang pertama kedatangan santri baru Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah tiba juga. Setelah rangkaian proses pendaftaran, tes akademik dan non akademik yang memakan waktu nyaris tiga bulan, santri baru resmi bermukim di pondok yang didirikan oleh Hadrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy ra.

Kedatangan santri baru dari berbagai daerah membuat suasana di sekitar pondok menjadi riuh. Mereka bersama keluarga mereka, dengan barang bawaan yang mereka kemas dalam tas atupun koper. Perasaan campur aduk sekilas tampak di wajah mereka. Beberapa dari mereka terlihat gugup, sementara yang lain tampak bersemangat dan penuh antusiasme.

Tanggal 18 Dzulqo’dah 1444 H bertepatan dengan tanggal 7 Juni 2023, akan dicatat oleh santri baru yang datang di gelombang pertama. Hari mereka menjadi bagian dari keluarga besar Al Fithrah. Pondok yang mereka dan orang tua mereka pilih untuk sebagai tempat menempa keilmuan dan kerohanian.

Setiba di pondok, santri baru dan keluarga mereka disambut oleh asatidz  dan panitia PSB. Mereka diarahkan langsung ke auditorium pondok untuk diberikan pengarahan tentang aturan dan tata tertib pondok. Selesai mendapat pengarahan kemudian diarahkan ke Maqbarah sebelum mereka dipasrahkan oleh orang tua atau wali pada sesepuh pondok.

Pemasrahan merupakan tradisi pesantren salaf. Dimana orang tua atau wali santri menitipkan secara penuh anaknya untuk dididik, dibimbing dan patuh terhadap aturan dan tata tertib pondok. Di sesi ini biasanya sesepuh pondok juga menyampaikan anjuran yang hendaknya dilakukan oleh orang tua selama anaknya berada di pondok.

 Setelah melewati sesi ini mereka diarahkan ke kamar masing-masing. Kemudian diterima oleh ketua kamar. Ketua kamar akan menjelaskan tentang tata tertib selama di kamar, dan memberikan kunci loker. Loker yang ukurannya tak lebih dari panjang, lebar dan tinggi 50 cm akan menjadi tempat santri baru untuk menyimpan pakaian.

“Pada tahun ini, sejumlah 517 santri baru, baik putra maupun putri telah mendaftar dan siap untuk belajar, menimba ilmu dan berkhidmah di Pondok. Gelombang pertama diketahui terdapat 171 santri, dan sisanya akan masuk pada gelombang II dan III,” kata Ust. Muhlis, selaku  ketua PSB Al Fithrah tahun ajaran 1444-1445 H. / 2023-2024 M.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini, tes akademik dan non akademik telah dilaksanakan sebelum kedatangan santri di pondok. Hasil dari tes akademik  menentukan santri tersebut masuk langsung ke jenjang pendidikan regular atau masih harus berlajar di jenjang persiapan (Isti’dad).

Proses adaptasi menjadi santri baru di pondok memang tidaklah mudah. Namun hal ini akan menjadi pengalaman pembelajaran mereka. Harapannya, santri baru dapat menjalani kehidupan di  Al Fithrah ini dengan disiplin dan semangat tinggi. Baik dalam menuntut ilmu dan melaksanakan wadhifah sehari-hari.

(ahm/dfn)

Memburu Lailatul Qadar

Menuju akhir Ramadan di beranda media sosial mulai sesak dengan status sedih. Ramadan tahun ini segera usai, sementara tak ada jaminan tahun depan masih bisa kita jumpai. Banyak muslim yang merasa belum maksimal dalam memanen keberkahan bulan Ramadan.

Banyak akun, juga mulai membincang Lailatul Qadar. Mulai kapan Lailatul Qadar, persiapan untuk menjumpai Lailatul Qadar, hingga sekedar hastag di unggahan foto buka bersama. Lalu, adakah kepastian kapat tepatnya waktu Lalilatul Qadar?

Kaidah Ulama’ mengenai waktu Lailatul Qadar

Dalam Kitab ‘Ianatu al-Thalibin, Syaikh al-Bakri al-Dimyathi menuliskan dua kaidah waktu Lailatul Qadar. Kaidah pertama dari Imam Abu Hamid al-Ghazali sebagai berikut.

Awal Ramadan Lailatul Qadar
Ahad Malam 29
Senin Malam 21
Selasa Malam 27
Rabu Malam 29
Kamis Malam 25
Jum’at Malam 27
Sabtu Malam 23

Imam Hasan al-Syadzili mengomentari kaidah ini, “semenjak aku baligh aku selalu mendapat Lailatul Qadar dengan mengikuti kaidah ini.”

Kaidah kedua dikutib oleh Syaikh Shihabuddin al-Qulyubi dalam Hasyiahnya;

Awal Ramadan Lailatul Qadar
Ahad Malam 27
Senin Malam 29
Selasa Malam 25
Rabu Malam 27
Kamis Malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan
Jum’at Malam 29
Sabtu Malam 21

Hikmah disamarkannya waktu Lailatul Qadar

Secara umum Ulama’ memang cenderung berpendapat bahwa Lailatul Qadar terletak di sepuluh hari terakhir Ramadan. Menilik pada kebiasaan Rasulullah SAW yang meningkatkan ibadah di waktu itu.

Kesamaran waktu Lailatul Qadar mempunyai hikmah tersendiri. Yakni, kita jadi senantiasa giat beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan. Seandainya waktu Lailatul Qadar itu jelas, ada potensi kita hanya akan giat beribadah di malam itu saja.

Kesimpulan

Ramadan tahun ini diawali hari kamis, jika mengikuti kaidah pertama maka Lailatul Qadar jatuh di malam 25 Ramadan. Dan, Lailatul Qadar bisa di malam ganjil di sepuluh akhir Ramadan, mengikuti kaidah kedua.

Terlepas dari kaidah yang pertama dan kedua, teladan Rasulullah SAW berupa semakin giat ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadan, perlu juga kita jadikan pegangan. Sehingga, meski di malam genap pun, tak lantas membuat kita menyepelekan dalam beribadah.

Referensi: Syaikh al-Bakri al-Dimyathi, I’aanatu al-Thalibin juz 2 hlm. 290-291