#mursyid

Liputan: Kajian Al Muntakhobat; Urgensi Guru Mursyid (2)

Nyaris pukul sepuluh waktu Indonesia barat, Kiai Reza baru datang. Ust. Kholis tak langsung mempersilahkan Kiai Reza untuk menyampaikan materi. Ia seperti membiarkan Kiai Reza untuk istirahat sejenak, mengingat telah menempuh perjalanan Kediri-Surabaya.

“Saya sengaja terlambat karena untuk menunjukkan bahwa lelaki sejati adalah yang harus bisa molor” Kata Kiai Reza disambut tawa para peserta, mengawali pembicaraannya. “Mursyid itu syaratnya harus rosyid (mampu menuntun dan membimbing) dan kholis (berhati bersih)” lanjut Kiai Reza memulai bahasannya terkait mursyid. Sementara Ust. Rosyid dan Ust. Kholis yang disampingnya tersenyum nama keduanya disebut.

“Tapi, kalau rosyid dan kholis tanpa ridho dari Allah itu tidak akan mungkin terjadi. Dan ridho itu diucapkan oleh orang Pakistan dengan ucapan Reza,” sambung Kiai Reza disambut gelak tawa perserta kajian. “Narasumber harus menang dari moderator dan pemantiknya” lanjut Kiai Reza.

Mengantar ke pembahasan siapa mursyid dan betapa pentingnyan berguru mursyid dalam kitab al-Muntakhobat, Kiai Reza bercerita tentang pengalamannya membaca teks yang ditulis Kiai Asrori. Teks yang tak disangka olehnya akan menjadi bagian pembuka dari Kitab al-Muntakhobat.

Kiai Reza  sempat menuturkan bahwa ada kesamaan isi di dalam kitab al-Muntkahobat terkait mursyid dengan yang tertuang dalam kitab Haqaaiqu ‘Ani al-Tasawuf.

Masuk dalam kajian teks al-Muntakhobat, Kiai Reza membuka dengan definisi syaikh sebelum ke pembahasan mursyid. Kiai Asrori dalam al-Muntakhabat-nya telah menulis berbagai definisi syaikh.

Setelah pemaparan mengenai syaikh dalam al-Muntakhobat Kiai Reza baru masuk pada pembahasan mengenai “siapakah syaikh yang juga al-murabbi al-mursyid?” dan “sebetapa penting terhubung dengannya”.

Tiga syarat syaikh yang juga al-murabbi al-mursyid. Pertama, mampu memberikan ilmu yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, bijaksana, mampu memilah mana hal-hal yang tidak dibutuhkannya. Ketiga, mampu mencerahkan murid dan orang di sekitarnya dengan ucapan, tindakannya

Ketiga syarat di atas, adalah wujud meneladani Rasulullah Saw. Seperti para sahabat yang berguru langsung pada Rasulullah Saw., maka begitu penting bagi kita untuk berguru pada seorang al-murabbi al-mursyid.

Dari al-murabbi al-mursyid kita mendapatkan ilmu yang kita butuhkan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita. Dengan ilmu-ilmu itu kita tak hanya dituntun melaksanakan syariat, tapi sekaligus mengetahui penyakit hati yang hinggap pada diri kita. Dan, bersamanya kita tersembuhkan, bersih dari penyakit itu.

Pada kajian kali ini sesi tanya jawab ditiadakan karena waktu yang sudah terlkalu larut malam. Kajian ditutup do’a oleh Kiai Reza, dan dilanjutkan dengan penyerahan cinderamata dari panitia untuk Kiai Reza.

Liputan: Kajian Al Muntakhobat; Urgensi Guru Mursyid (1)

Tanggal 20 Desember 2023, telah terlaksana Kajian al-Muntakhobat dengan materi Urgensi Guru Mursyid di Auditorium Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Berbeda dengan kajian sebelumnya yang hanya ditangani oleh  Majelis Kebersamaan dalam Kajian dan Pembahasan Ilmiah (MKPI) Al Fithrah. Pada kajian ini MKPI juga menggandeng Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Ma’had ‘Aly Al Fithrah.

Dr. KH. Reza Ahmad Zahid, Lc, M.A, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mahrusiyah Lirboyo Kediri, dihadirkan untuk menyampaikan materi Urgensi Guru Mursyid. Materi ini sendiri telah tertuang dalam kitab al-Muntakhobat, kitab yang juga menjadi brand dari kajian yang diusung PJ. Turats, dan dilaksanakan oleh MKPI.

Al-Muntakhobat merupakan kitab yang disusun oleh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy – Allahu yarhamuhu –. Terdiri dari lima juz, kitab ini mulanya hanya dua juz. Kitab yang memiliki daftar referensi yang berlimpah ini juga dikaji sehari-sehari di Ma’had ‘Aly Al Fithrah dan STAI Al Fithrah. Dan, juga bagian dari kurikulum di dua Pendidikan tinggi di ponpes Al Fithrah tersebut. 

Dalam kajian ini, Ust. Nur Kholis – yang sebelumnya juga pernah menjadi pemateri dalam kajian ini  – diminta oleh panitia sebagai moderator. Ia merupakan adik kelas Kiai Reza semasa belajar di Ahqaf, Yaman. Ust. H. Abdur Rosyid, selaku ketua PP. ath Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah dan juga alumni pondok Lirboyo, diminta oleh panitia untuk memantik kajian malam itu.

Jalannya Acara

Lazimnya acara di ponpes Al Fithrah, kajian ini dibuka dengan bacaan Tawasul, Istighosah dan Maulid Fi Hubby. Serampungnya acara pembukaan, Huda Muttaqin selaku ketua penyelenggara kajian ini memberikan sambutan. Dalam sambutannya, ia menyampaikan terimakasih kepada segenap panitia dan pihak-pihak yang mendukung terselenggaranya kajian ini.

Sambutan kedua disampaikan oleh Ust. Ahmad Qunawi, selaku Kepala Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Ia mengapresiasi khidmah dan perjuangan para aktivis MKPI Al Fithrah dan BEM Ma’had Aly Al Fithrah dalam menyelenggarakan kegiatan Kajian al-Muntakhobat. Adanya kajian merupakan bentuk melanjutkan ajaran Hadlratusy Syaikh KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy, khususnya dalam menggali khazanah tasawuf dalam karya beliau, al-Muntakhobat.

Kajian ini sempat molor dari waktu yang sudah diagendakan. Keterlambatan kedatangan Kiai Reza karena macet menjadi penyebabnya. Meski demikian, Ust. Kholis dan Ust. Rosyid tetap memulai kajian malam itu, sambil menunggu kedatangan Kiai Reza.

Ust. Rosyid memantik kajian itu dengan pernyataan, belakangan term mursyid mengalami pendangkalan definisi. Banyak orang mengetahui mursyid dipahami sebagai orang yang hanya memberikan ijazah. Padahal, jika kita membaca lebih teliti dan mendalam di kitab-kitab tasawuf, kita menjumpai mursyid sebagai manusia yang memiliki keistimewaan. Dan, syarat serta ketentuan seseorang untuk mendapatkan predikat mursyid dalam tarekat sangat berat dan amat banyak.

Dalam pantikannya, Ust. Rosyid juga mengisahkan tentang Kiai Asrori yang menanggung amaliyah wajib yang sudah beliau ijazahkan kepada murid yang telah berbaiat padanya. Jadi, tidak sekedar mengijazahkan, seorang musyid juga mengontrol muridnya apakah sudah mengamalkan ijazah darinya atau tidak.

Mengantar kajian pada malam itu, Ust. Rosyid juga mengenalkan siapa Kiai Reza pada peserta kajian. Sebagian besar peserta mungkin tahu kalau Kiai Reza adalah pengasuh ponpes Al Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri. Tapi, barangkali ada juga yang tidak tahu kalau ia juga masih keponakan Kiai Asrori.

Ust. Rosyid  menjuluki Kiai Reza sebagai majma’ul bahrain, tempat berkumpulnya dua lautan. Tak lain sebab Kiai Reza merupakan keturunan dua ulama besar. Dari jalur ayah, beliau masih cucu dari KH. Mahrus Aly sang pakar Fikih, sedang dari jalur ibu beliau cucu dari KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqy, Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

(bersambung)