Belajar menjadi tamu yang baik

Bertamu merupakan bagian dari menyambung silaturrahmi, Dan, salam kitab Jami’u al-Jawaami’ juz 1 halaman 372, ada hadits Nabi Saw.,

إِذَا دَخَلَ الضَّيْفُ عَلَى قَوْمٍ دَخَلَ بِرِزْقِهِ، وَإِذَا خَرَجَ خَرجَ بِمَغْفِرَةِ ذُنُوْبِهِمْ.

 “Ketika tamu datang pada suatu kaum, maka ia datang dengan membawa rezekinya. Ketika ia keluar dari kaum, maka ia keluar dengan membawa pengampunan dosa bagi mereka.”

Salah paham yang berulang

Di setiap penyelenggaraan Haul Akbar Al Fithrah, panitia selalu menyediakan tempat menginap bagi jama’ah yang hadir. Tugas ini ditangani oleh tim maktab. Sampai tulisan ini dimuat tim maktab sudah mendata 799 rumah dengan kapasitas 22.598 orang.

Rumah-rumah itu merupakan milik warga di sekitar ponpes Al Fithrah. Warga yang rumahnya dipergunakan untuk maktab tidak dibayar sepeser pun. Kesediaan mereka untuk menjadi tempat menginap jama’ah yang akan menghadiri haul, karena nderek bungah dengan terselanggaranya haul.

Para warga dengan suka rela mengkondisikan keluarganya, agar rumahnya lapang ditempati jama’ah. Tak hanya menyediakan tempat menginap, beberapa rumah bahkan menyediakan minuman dan makanan ringan. Dan, itu semua atas pembiyaan sendiri. Namun, beberapa kali sering terjadi salah paham, terkait iuran yang diselenggarakan oleh penyelenggara rombongan haul.

Di beberapa pamflet rombongan tertera maktab sebagai salah satu falisitas yang di dapat peserta rombongan. Bisa jadi uang itu memang diberikan kepada tuan rumah. Tapi, praktiknya ada jama’ah menuntut fasilitas kepada tuan rumah, karena merasa telah membayar, tapi tuan rumah tak merasa menjamin dan dibayar untuk fasilitas itu.

Adab bertamu

Agar bertamu menghasilkan hal yang baik, tentu harus memperhatikan adab dalam bertamu. Imam al-Khatib al-Syirbini (Mughni al-Muhtaj, hlm. 412), menuturkan tiga hal yang hendaknya dilakukan oleh tamu

أَنْ لَّا يَخْرُجَ إلَّا بِإِذْنِ صَاحِبِ الْمَنْزِلِ، وَأَنْ لَا يَجْلِسَ فِيْ مُقَابَلَةِ حُجْرَةِ النِّسَاءِ وَسُتْرَتِهِنَّ، وَأَنْ لَا يُكْثِرَ النَّظَرَ إلَى الْمَوْضِعِ الَّذِيْ يَخْرُجُ مِنْهُ الطَّعَامُ.

“berpamitan pada pemilik rumah ketika hendak keluar rumah, duduk di selain tempat yang searah dengan kamar perempuan, dan menghindari memandang tempat keluarnya makanan.”

Imam Muhammad al-Safaarini (Ghada’ul Albab, 2/151), menuturkan tentang adab bertamu,

أَنْ يُّبَادِرَ إلَى مُوَافَقَةِ الْمُضِيْفِ فِي أُمُورٍ: مِنْهَا أَكْلُ الطَّعَامِ، وَلَا يَعْتَذِرُ بِشِبَعٍ، وَأَنْ لَّا يَسْأَلَ صَاحِبَ الْمَنْزِلِ عَنْ شَيْءٍ مِنْ دَارِهِ سِوَى الْقِبْلَةِ وَمَوْضِعِ قَضَاءِ الْحَاجَةِ.

“Tamu hendaknya menyesuaikan diri dengan tuan rumah dalam berbagai hal, misal memakan makanan (yang dihidangkan), dan tidak beralasan kenyang. Dan, tamu hendaknya tidak bertanya pada tuan rumah tentang rumahnya selain mana arah kiblat dan kamar mandi.”

Soal suguhan tuan rumah pada tamu yang menginap, Imam Malik bin Anas (Muwatha’, 2/929) menuturkan hadits Nabi Muhammad Saw,

وَضِيَافَتُهُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ، فَمَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ.

“perjamuan untuk tamu itu sampai tiga hari, lebih dari itu, jamuan merupan sedekah, Tidak boleh bagi tamu untuk menginap di suatu rumah hingga ia menyusahkannya (pemilik rumah).”

Menjadi tamu yang baik

Dari hadits dan maqalah di atas, poin penting dalam bertamu atau menginap di rumah seseorang adalah menjaga kenyamanan dan privasi tuan rumah beserta keluarganya. Hal ini terlepas dari ketidak nyamanan tamu karena laku tuan rumah. Sebagimana keterangan Ulama’, adab yang baik adalah tentang apa yang kita lakukan pada orang lain, bukan sebaliknya.

Semoga pemilik rumah yang dijadikan maktab dan jama’ah yang menginap di maktab sama mendapat keberkahan dan tercatat sebagai hamba yang saling memuliakan saudaranya.

Wallahu a’lam