Telaah

Puasa Asyura’: Keutamaan, Niat

Bulan Muharram selain diperingati sebagai bulan pertama dalam penanggalan Islam, juga terdapat banyak sekali amaliyah dianjurkan. Terlebih pada tanggal 10 Muharram yang disebut hari Asyura’. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bahkan secara khusus membahas keutamaan hari ini dalam kitabnya al-Ghunyah.

Dan, di antara amaliyah yang dianjurkan di hari Asyura’ adalah puasa.

Dalil

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (al-Ghunyah, 2/90) menyertakan beberapa hadits yang mengarah pada kesunnahan puasa Asyura’. Dalam hadits itu, Rasulullah Saw. ketika di Madinah menjumpai umat Yahudi berpuasa di Madinah. Rasulullah Saw. pun menanyai mereka perihal ini.

Merekapun menjawab, “pada hari ini (Asyura’) Allah Swt telah membebaskan Nabi Musa as. dan bani Isra’il dari Fir’aun dan bala tentaranya. Kami pun berpuasa (hari ini) untuk memulyakan peristiwa itu.”

Rasulullah Saw lalu berkata, “kami (umat islam) lebih utama memuasai Nabi Musa dibanding kalian.” Rasulullah lalu memerintahkan umat Islam berpuasa di hari Asyura’.

Keutamaan

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (al-Ghunyah, 2/87) menyebutkan banyak sekali keutamaan hari Asyura dan juga puasa Asyura. Di antaranya, berpuasa Asyura’ sama seperti berpuasa satu tahun. Karena hari Asyura adalah hari besar para Nabi.

Imam Muslim (Shahih Muslim, hadits no. 1.162 dan al-Fiqhu al-Manhaji, 2/98) menuliskan sebuah hadits mengenai puasa Asyura’. Rasulullah Saw ditanya mengenai puasa Asyura’. Beliau menjawab, “(puasa Asyura’) melebur dosa selama satu tahun yang telah lewat.”

Niat puasa tanggal 10 Muharram (hari Asyura’)

نَوَيْتُ صَوْمَ عَاشُوْرَاءَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ‘asyuuraa-a sunnatan liLlaahi ta‘aalaa..

“Saya niat puasa sunnah ‘Asyura karena Allah ta’aalaa.”

dfn

Puasa Tasu’a: Dalil, Hikmah, Niat

Di bulan Muharram ini ada banyak sekali amaliyah sunnah yang bisa kita kerjakan, di antaranya puasa. Ada dua puasa yang menjadi perhatian utama umat islam di bulan muharram; puasa tanggal 9 dan 10 Muharram.

Puasa tanggal 10 Muharram atau dikenal juga dengan puasa Asyurra’, tidak hanya dikerjakan oleh umat Islam. Puasa ini juga dikerjakan oleh umat Yahudi sebagai bentuk memulyakan hari itu. Hari di mana Nabi Musa as dan bani Israil terlepas dari Fir’aun.

Lalu bagiamana dengan puasa tanggal 9 Muharram?

Dalil

Imam Nawawi al-Jawi (Nihayatu al-Zain, 195) menyertakan satu hadits yang mengarah pada kesunnahan puasa Tasu’ah. Dalam hadits itu, Rasulullah Saw. bersabda, “jika aku masih menjumpai tahun depan, aku pasti akan berpuasa di tanggal 9 (Muharram).” Dan, Rasulullah Saw meninggal di tahun itu, sehingga beliau tidak sempat menjumpai tahun setelahnya.

Hikmah

Sayyid al-Bakri al-Dimyathi (I’aanatu al-Thalibin, 2/301) menyatakan, hikmah disunnahkannya puasa di tanggal 9 dan 10 bulan Muharram agar berbeda dengan orang Yahudi. Orang Yahudi hanya berpuasa di tanggal 10 saja, sedang kita umat Islam juga berpuasa sekaligus di tanggal 9.

Niat puasa tanggal 9 Muharram (hari Tasu’a’)

نَوَيْتُ صَوْمَ تَسُوْعَاءَ سُنَّةً لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma tasuu’aa-a sunnatan liLlaahi ta‘aalaa..

“Saya niat puasa sunnah Tasu’a’ karena Allah ta’aalaa.”

dfn

Mendukung Klub Sepak Bola? Boleh, Tapi …

Kedatangan Persebaya di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah (4/7/2023), masih menjadi pembicaraan di kalangan para santri. Khususnya santri yang berasal dari Jawa Timur dan memang tinggal di Surabaya.

Sepak bola memang olahraga yang sangat populer di seluruh dunia, tak terkecuali di kalangan santri di pesantren. Banyak santri yang menjadi penggemar klub bola baik dari dalam maupun luar negeri. Terutama klub daerah asal mereka.

Dukungan ini mereka wujudkan dengan memiliki jersey klub kesayangan mereka. Bahkan, ada diantara mereka yang memberanikan diri kabur dari pesantren, hanya untuk menyaksikan secara langsung klub kesayangan mereka bertanding.

Yang kedua tadi, tentu tidak baik, karena jelas melangar tata tertib pesantren. Dan, penyebab utamanya adalah fanatisme yang berlebihan. Tak hanya berhenti dengan melanggar tata tertib, fanatisme yang tak dipagari bisa menimbulkan dampak negatif lainnya.

Selain fanatisme apa saja yang perlu diperhatikan bagi pendukung bola?

Pertama, memperhatikan waktu. Banyak pertandingan bola diselenggarakan saat waktu ibadah wajib, shalat. Seorang muslim harus memprioritaskan kewajiban agama di atas hobi dan aktivitas dunia lainnya.

Kedua, akhlak yang baik. Meski mendukung klub sepakbola yang berbeda-beda, hendaknya tetap menjunjung ukhuwah basyariyah (persaudaraan dalam kemanusiaan). Sehingga, dalam mendukung klub sepak bola harus menghindari kata-kata kasar, atau hal lainnya yang berpotensi konflik.

Ketiga, mengambil hikmah. Dalam sepak bola banyak sekali pelajaran yang bisa kita unduh. Kerjasama, manajemen klub, profesionalitas, dan bagaimana menyikapi kemenangan atau kekalahan dalam pertandingan.

Sepak bola adalah permainan yang bersifat kompetitif, tetapi juga merupakan alat untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang. Oleh karena itu apapun klub yang didukung mari mendukung dengan kadar sewajarnya. Dan, tetap memperhatikan waktu, akhlaq dan bisa mengambil hikmah.

Semoga klub sepak bola yang kamu dukung menjalani musim ini dengan baik.

Idul Adha: Keutaman Bagi Yang Belum Bisa Berkurban

Tidak semua daerah di Indonesia merayakan Idul Adha semeriah Idul Fitri. Namun tak bisa dibilang sedikit, daerah yang Idul Adhanya dirayakan melebihi Idul Fitri. Mudik yang lazimnya dilakukan saat Idul Fitri, bagi daerah-daerah itu juga lazim dilakukan saat Idul Adha.

Berkurban, penyembelihan hewan kurban dan hal-hal seputar kurban menjadi alasan utama Idul Adha patut dirayakan. Jual-beli hewan kurban sudah berlangsung sejak awal bulan Dzulqa’dah.api dan kambing, dua hewan yang lazim disembelih di Indonesia. Harga keduanya bisa mendadak naik tinggi di hari-hari jelang 10 Dzulhijjah.

Panitia-panitia penyelenggara dan pendistribusi kurban, baik dari takmir masjid, pondok pesantren dan ormas tidak hanya menerima hewan kurban. Di tahun-tahun belakangan ini, mereka juga menerima pembelian hewan kurban. Bahkan mereka juga membuka urunan untuk berkurban satu ekor sapi.

Memang tak semua umat islam mampu membeli hewan kurban dan berkurban. Tapi, apakah hanya mereka yang berkurban yang mendapat keutamanan juga keberkahan Idul Adha? Lalu, bagiamana dengan orang-orang yang sepanjang hidupnya belum berkemampuan untuk berkurban?

Keutamaan Idul Adha

Dalam al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menybutkan beberapa keutamaan hari raya Idul Adha. Pertama, mengerjakan shalat Id. Lazim kita ketahui dalam satu tahun Hijriyah, shalat Id hanya dilakukan dua kali; tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah. Ibadah yang dikerjakan setahun dua kali ini tentu sayang untuk dilewatkan.

Kedua, berdzikir (mengingat) Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ingatlah kepadaku maka Aku akan mengingatmu” (QS. al-Baqarah: 152). Hari Idul Adha adalah waktu yang pas bagi kita untuk kembali mengingat kebesaran Allah. Dimana, takbir-takbir berkumandang sepanjang malam Idul Adha hingga waktu penyembelihan.

Ketiga, berdo’a kepada Allah. Ya, berdo’a memang bisa dilakukan kapan saja. Tapi, sebagiamana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Qarth, Nabi Saw. pernah bersabda, “hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari nahr (penyembelihan) sebagai”. Dan, berdo’a di hari yang agung di sisi Allah tentu lebih utama.

Keempat, berkurban. Berkurban hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas ra., Nabi Saw. bersabda, “aku diperintah (oleh Allah) untuk berkurban. Dan, itu sunah bagi kalian.” Dalam hadits lain disebutkan bahwa Allah Swt. memberikan ampunan atas segala dosa orang yang berkurban sejak tetesan pertama darah hewan yang dikurbankan.

Keutamaan Idul Adha bagi yang belum bisa berkurban

Dari uraian di atas, bagi muslim yang belum bisa berkurban di hari raya Idul Adha tak perlu bersedih. Masih ada tiga keutamaan lain yang bisa mereka raih di hari mulia ini; shalat id, berdzikir dan berdo’a. Maka, meski belum mampu untuk berkurban, sebagai muslim kita patut bersyukur karena bertemu hari yang agung, idul adha.

Disarikan dari al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq, Juz 2 hlm. 67-79

(as/dfn)

Memburu Lailatul Qadar

Menuju akhir Ramadan di beranda media sosial mulai sesak dengan status sedih. Ramadan tahun ini segera usai, sementara tak ada jaminan tahun depan masih bisa kita jumpai. Banyak muslim yang merasa belum maksimal dalam memanen keberkahan bulan Ramadan.

Banyak akun, juga mulai membincang Lailatul Qadar. Mulai kapan Lailatul Qadar, persiapan untuk menjumpai Lailatul Qadar, hingga sekedar hastag di unggahan foto buka bersama. Lalu, adakah kepastian kapat tepatnya waktu Lalilatul Qadar?

Kaidah Ulama’ mengenai waktu Lailatul Qadar

Dalam Kitab ‘Ianatu al-Thalibin, Syaikh al-Bakri al-Dimyathi menuliskan dua kaidah waktu Lailatul Qadar. Kaidah pertama dari Imam Abu Hamid al-Ghazali sebagai berikut.

Awal Ramadan Lailatul Qadar
Ahad Malam 29
Senin Malam 21
Selasa Malam 27
Rabu Malam 29
Kamis Malam 25
Jum’at Malam 27
Sabtu Malam 23

Imam Hasan al-Syadzili mengomentari kaidah ini, “semenjak aku baligh aku selalu mendapat Lailatul Qadar dengan mengikuti kaidah ini.”

Kaidah kedua dikutib oleh Syaikh Shihabuddin al-Qulyubi dalam Hasyiahnya;

Awal Ramadan Lailatul Qadar
Ahad Malam 27
Senin Malam 29
Selasa Malam 25
Rabu Malam 27
Kamis Malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan
Jum’at Malam 29
Sabtu Malam 21

Hikmah disamarkannya waktu Lailatul Qadar

Secara umum Ulama’ memang cenderung berpendapat bahwa Lailatul Qadar terletak di sepuluh hari terakhir Ramadan. Menilik pada kebiasaan Rasulullah SAW yang meningkatkan ibadah di waktu itu.

Kesamaran waktu Lailatul Qadar mempunyai hikmah tersendiri. Yakni, kita jadi senantiasa giat beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan. Seandainya waktu Lailatul Qadar itu jelas, ada potensi kita hanya akan giat beribadah di malam itu saja.

Kesimpulan

Ramadan tahun ini diawali hari kamis, jika mengikuti kaidah pertama maka Lailatul Qadar jatuh di malam 25 Ramadan. Dan, Lailatul Qadar bisa di malam ganjil di sepuluh akhir Ramadan, mengikuti kaidah kedua.

Terlepas dari kaidah yang pertama dan kedua, teladan Rasulullah SAW berupa semakin giat ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadan, perlu juga kita jadikan pegangan. Sehingga, meski di malam genap pun, tak lantas membuat kita menyepelekan dalam beribadah.

Referensi: Syaikh al-Bakri al-Dimyathi, I’aanatu al-Thalibin juz 2 hlm. 290-291