Telaah

Memburu Lailatul Qadar

Menuju akhir Ramadan di beranda media sosial mulai sesak dengan status sedih. Ramadan tahun ini segera usai, sementara tak ada jaminan tahun depan masih bisa kita jumpai. Banyak muslim yang merasa belum maksimal dalam memanen keberkahan bulan Ramadan.

Banyak akun, juga mulai membincang Lailatul Qadar. Mulai kapan Lailatul Qadar, persiapan untuk menjumpai Lailatul Qadar, hingga sekedar hastag di unggahan foto buka bersama. Lalu, adakah kepastian kapat tepatnya waktu Lalilatul Qadar?

Kaidah Ulama’ mengenai waktu Lailatul Qadar

Dalam Kitab ‘Ianatu al-Thalibin, Syaikh al-Bakri al-Dimyathi menuliskan dua kaidah waktu Lailatul Qadar. Kaidah pertama dari Imam Abu Hamid al-Ghazali sebagai berikut.

Awal Ramadan Lailatul Qadar
Ahad Malam 29
Senin Malam 21
Selasa Malam 27
Rabu Malam 29
Kamis Malam 25
Jum’at Malam 27
Sabtu Malam 23

Imam Hasan al-Syadzili mengomentari kaidah ini, “semenjak aku baligh aku selalu mendapat Lailatul Qadar dengan mengikuti kaidah ini.”

Kaidah kedua dikutib oleh Syaikh Shihabuddin al-Qulyubi dalam Hasyiahnya;

Awal Ramadan Lailatul Qadar
Ahad Malam 27
Senin Malam 29
Selasa Malam 25
Rabu Malam 27
Kamis Malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadan
Jum’at Malam 29
Sabtu Malam 21

Hikmah disamarkannya waktu Lailatul Qadar

Secara umum Ulama’ memang cenderung berpendapat bahwa Lailatul Qadar terletak di sepuluh hari terakhir Ramadan. Menilik pada kebiasaan Rasulullah SAW yang meningkatkan ibadah di waktu itu.

Kesamaran waktu Lailatul Qadar mempunyai hikmah tersendiri. Yakni, kita jadi senantiasa giat beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan. Seandainya waktu Lailatul Qadar itu jelas, ada potensi kita hanya akan giat beribadah di malam itu saja.

Kesimpulan

Ramadan tahun ini diawali hari kamis, jika mengikuti kaidah pertama maka Lailatul Qadar jatuh di malam 25 Ramadan. Dan, Lailatul Qadar bisa di malam ganjil di sepuluh akhir Ramadan, mengikuti kaidah kedua.

Terlepas dari kaidah yang pertama dan kedua, teladan Rasulullah SAW berupa semakin giat ibadah di sepuluh hari terakhir Ramadan, perlu juga kita jadikan pegangan. Sehingga, meski di malam genap pun, tak lantas membuat kita menyepelekan dalam beribadah.

Referensi: Syaikh al-Bakri al-Dimyathi, I’aanatu al-Thalibin juz 2 hlm. 290-291

Keistimewaan Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadan

Tanda Ramadan akan berakhir yang lumrah diketahui, adalah mulai berkurangnya jama’ah Tarawih di masjid ataupun musala. Menyambut hari raya Idul Fithri, membuat sebagian muslim mulai sibuk menyiapkan banyak hal. Tapi, tulisan ini tidak sedang membahas tentang itu.

Sebagian besar muslim menaruh perhatian khusus dalam beribah di penghujung Ramadan. Mulai malam 21 Ramadan di banyak masjid dan musala biasanya mulai diadakan iktikaf hingga salat malam berjama’ah. Lailatul Qadar di antara hal yang menyita perhatian di penghujung Ramadan.

Nabi Muhammad dan sepuluh Hari Terakhir bulan Ramadan

Sayyidah ‘Aisyah RAH. menyampaikan, “Nabi Muhammad SAW. sangat memperhatikan ibadahnya di bulan Ramadan, dibanding bulan selainnya. Dan, Beliau SAW di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, semakin memperhatikan ibadahnya melebihi hari lainya.

Dalam riwayat lain, Sayyidah ‘Aisyah RAH. menyampaikan,”Nabi Muhammad SAW, ketika sudah memasuki sepuluh hari akhir bulan Ramadan, beliau menghidupkan malam (beribadah), membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggang (bersungguh-sungguh).

Dua riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW menaruh perhatian khusus di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Sebagai umatnya meniru apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tentu sebuah bentuk keta’atan.

Lailatul Qadar di sepuluh hari akhir Ramadan

Banyak Ulama’ meyakini Lailatul Qadar berada di sepuluh akhir Ramadan. Imam Syafi’I berpendapat Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 atau malam 23 Ramadan. Sementara Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadan.

Secara umum, para Ulama’ meyakini Lailatul Qadar jatuh di malam ganjil di sepuluh hari akhir Ramadan. Dalam surat al-Qadar, Allah SWT berfirman, “Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.” Ayat ini menegaskan betapa istimewanya Lailatul Qadar.

Kesimpulan

Nabi Muhammad SAW sangat memperhatikan dibadahnya di sepuluh hari terakhir Ramadan. Banyak Ulama’ meyakini Lailatul Qadar berada di malam ganji di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Beribadah di waktu Lailatu Qadar mempunyai nilai beribadah seribu bulan.

Meskipun keyakinan para Ulama, Lailatul Qadar berada di malam ganjil di sepuluh hari akhir Ramadan, jangan membuat kita kurang bersemangat beribadah di malam genap. Akhirnya, semoga kita mendapatkan Lailatu Qadar, dan tetap beribadah dengan niat liLlahi Ta’alaa.

Referensi

Imam al-Nawawi, Riyadhu al-Shalihin, Hadits no. 1194 dan no. 1221

Syaikh al-Bakri al-Dimyathi, I’anatu al-Thalibin, juz 2 hlm. 290

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq, juz 2 hlm. 19

Malam Pertama Kali Nabi Muhammad SAW Menerima Ayat Al- Qur’an

Ramadan 1444 H. sudah memasuki malam ke-17. Malam di mana lazimnya kita ketahui Nabi Muhammad SAW. untuk pertama kali menerima wahyu. Hal ini sebagaimana yang terekam dalam surat al-Qadar.

Di malam itu, Malaikat Jibril menyampaikan surat al-‘Alaq ayat 1-5, ketika Nabi SAW sedang bertahanuts (beribadah) di gua Hira, bukit Jabal Nur. Sebuah kebiasaan yang sering Beliau SAW. lakukan menjelang diangkat menjadi seorang Nabi.

Imam Ibnu Ishaq ra, satu di antara banyak sejarawan muslim yang mempopulerkan pendapat  ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Qadar. Untuk harinya Imam Ibnu Ishaq ra.  berpendapat pada malam Jum’at  17 Ramadan tahun ke 13 sebelum Hijriyah.

Sementara itu, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakpuri bependapat al-Qur’an kali pertama turun pada Senin, 21 Ramadan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M. Usia Nabi Muhammad Saw. saat itu 40 tahun 6 bulan 12 hari dalam kalender Hijriyah dan 39 tahun dan 3 bulan 20 hari.

Terlepas pendapat mana yang paling benar, semua Ulama’ bersepakat al-Qur’an pertama kali turun di bulan suci Ramadan. Dan, memperbanyak membaca al-Qur’an merupakan satu di antara banyak kesunahan di bulan Ramadan.

Waba’du; Semoga di bulan Ramadan ini kita mendapat kesempatan mengkhatamkan al-Qu’ran. Dan semoga huruf-huruf yang kita baca kelak akan menjadi saksi di hari persaksian. Amin, amin, amin. Ya Rabbal ‘Alamin.

Referensi:

Syaikh Muhammad ‘Ali al-Shabunii, Shofwatu al-Tafaasir, Juz 3, hlm. 553

Imam Ibnu Ishaq, al-Siiratu an-Nabawiyah, hlm. 96

Syaikh Shafiyu al-Rahman al-Mubarakpuri, al-Rahiiq al-Makhtuum, hlm. 75

Syaikh Zainuddin al-Malibari, Fathu al-Mu’in, hlm. 58

3 Tingkatan Puasa dan Cara Menapakinya.

Pekan pertama Ramadhan 1444 H. sudah kita lalui bersama. Sejak alarm imsak berbunyi hingga adzan maghrib berkumandang, kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa setiap harinya. Tapi, apakah puasa yang telah kita jalankan selevel dengan puasanya para kekasih Allah SWT?

Tingkatan Puasa

Dalam kitab Asroru al-Shaum, Imam Abu Hamid al-Ghazali memaparkan tiga tingkatan puasa; puasa orang awam, puasa orang istimewa, dan puasanya orang teristemewa.

Puasa orang awam berupa menjaga keinginan perut dan farji sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh.

Puasa orang istimewa berupa menjaga kelima indra dan anggota badan lainnya dari berbuat dosa.

Puasa orang teristimewa berupa menjaga hati dari tujuan yang rendah, memikirkan duniyawiyah dan dari selain Allah Swt secara totalitas.

Meningkatkan level puasa

Mengaca pada tujuh hari yang telah kita lalui barangkali kita masih di level puasa orang awam. Imam al-Ghazali dalam kitab yang sama memaparkan enam hal agar puasa kita bisa naik level.

Pertama, menjaga dan mencegah mata dari kebebasan melihat hal yang yang tercela dan dimakruhkan. Apalagi pada perkara yang berpotensi menyibukkan hati dari mengingat Allah SWT.

Kedua, menjaga lisan dari berbicara yang tidak bermanfaat, seperti berdusta, menggunjing, mengadu domba daln lainnya. Selanjutnya menyibukkan lisan dengan berzikir kepada Allah SWT dan membaca al-Qur’an.

Ketiga, menjaga pendengaran dari perhatian hal-hal yang dimakruhkan apalagi yang yang haram. Karena setiap perkara yang haram diucapkan, haram pula diperhatikan.

Keempat, menjaga anggota tubuh dari (berbuat) dosa. Berupa menjaga tangan dan kaki dari perkara yang makruh (dikerjakan) dan menjaga perut dari berbuka dengan perkara syubhat.

Kelima, tidak memperbanyak (mengonsumsi) makanan yang halal ketika berbuka, sehingga taka da ruang di perutnya. Sebab tidak ada bejana yang membuat Allah SWT murka, dari perut terlalu kenyang dengan makanan halal.

Keenam, etelah berbuka puasa, menyandarkan hati kepada Allah SWT. Memasrahkan puasa yang dilakukan antara berharap diterima dan takut ditolak oleh Allah SWT. Dan, hendaknya demikian setiap mengakhiri setiap ibadah.

Apakah dengan menjalankan enam hal di atas puasa kita otomatis naik level?

Mengikuti definisi puasa orang itimewa, harusnya begitu. Meskipun berat tentu layak kita coba. Untuk tingkatan puasa yang ketiga, tentu akan lebih berat lagi. Karena menurut Imam al-Ghazali, puasa tingkat ketiga ini adalah puasanya para Nabi, Shiddiqin dan a-Muqarrabin.

Waba’du; semoga puasa dan segala bentuk ibadah yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan mendapat Ridha Allah SWT. Amin.

*Dirangkum dari kitab Asraru al-Shaum min Ihyai ‘Ulumi al-Dini, karya Imam Abu Hamid al-Ghazali, hlm. 27-40.

Shalawat Penyelamat

Dikisahkan, seorang kekasih Allah Swt. yang bernama Syaikh Shalih Musa al-Dlarir ra. sedang berlayar di tengah samudra. Lalu, kapal yang dinaikinya bertemu dengan badai yang dikenal dengan nama Aqlabiyah. Badai yang terkenal akan keganasannya, dan sedikit orang yang bisa selamat dari terjangannya. Para penumpang kapal berteriak, panik, takut badai itu akan menenggelamkan mereka. Tiba-tiba Syaikh Shalih diserang rasa kantuk yang amat berat, hingga beliau tertidur.

Dalam kondisi tertidur itu, beliau melihat Nabi Muhammad Saw.. Nabi pun bersabda: “katakan pada penumpang kapal untuk membaca ini sebanyak seribu kali,

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، صَلاَةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَالْاٰفَاتِ، وَتَقْضِيْ لَنَا بِهَا جَمِيعَ الْحَاجَاتِ، وَتُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَيِّئَاتِ، وَتَرْفَعُنَا بِهَا أَعْلَى الدَّرَجَاتِ، وَتُبَلِّغُنَا بِهَـــا أَقْصَى الْغَايَاتِ، مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَـــاتِ.

Allaahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammadin, shalaatan tunjiinaa bihaa min jamii’il ahwaali wal aafaat, wa taqdhii lanaa bihaa jamii’al haajaat, wa tuthahhirunaa bihaa min jamii’is sayyiaat, wa tarfa’unaa bihaa a’lad darajaat, wa tuballighunaa bihaa aqshal ghaayaat, min jami’il khairaati fil hayaati wa ba’dal mamaat.

“Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad, (yang) dengan shalawat itu, Engkau akan menyelamatkan kami dari semua keadaan dan dari semua cobaan; dengan shalawat itu, Engkau akan mengabulkan semua hajat kami; dengan shalawat itu, Engkau akan menyucikan kami dari segala keburukan; dengan shalawat itu, Engkau akan mengangkat kami ke derajat paling tinggi; dengan shalawat itu pula, Engkau akan menyampaikan kami kepada tujuan yang paling sempurna dari semua kebaikan, ketika hidup dan setelah mati.”

Kemudian ia terbangun, dan menceritakan mimpi yang barusan ia alami kepada penumpang kapal. Mereka pun membaca shalawat tersebut. Dan, ketika bacaan shalawat itu mencapai 300 kali, badaipun reda. (al-Fajru al-Muniru fi al-Shalaati ‘ala al-Basyiri wa al-Nadziri, hlm. 21)

***

Di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah shalawat ini jadi pembuka do’a setelah sholat lima waktu. Sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Hadratusy Syaikh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, dan tertulis dalam kumpulan wirid dan do’a setelah sholat di kitab Fathatu al-Nuriyah. Kitab ini selain diamalkan oleh santri Al Fithrah, juga diamalkan oleh jama’ah Al Khidmah.

Dalam kitab itu Kiai Asrori memang tak menyertakan kisah Syaikh Shalih dalam kitab Fathatu al-Nuriyah. Pun juga dengan amaliah-amaliah lain yang beliau tuntunkan dalam kitab tersebut, beliau tidak menyertakan dalil atau keterangan pendukung. Namun, kealpaan keterangan itu tentu, sama sekali tidak mengurangi keutamaan membaca amaliyah itu.

Mengingat, keutamaan membaca shalawat itu sudah disepakati oleh ulama’. Bahkan di dalam al-Qur’an, Allah Swt. sudah berfirman:

إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” (QS. al-Ahzab: 56)

Ayat ini merupakan penegasan anjuran membaca shalawat.

Di dalam kitab al-Muntakhobat, Kiai Asrori menerangkan jika seseorang memperbanyak (membaca) sholawat dan semua doanya dijadikan sebagai sholawat kepada Nabi, maka ia betul-betul telah mewujudkan apa yang telah dibawa oleh Syari’at. Sebagaimana yang telah diwujudkan oleh Shohabat yang telah menjadikan semua doanya sebagai sholawat kepada Nabi. Sehingga, ia diampuni semua dosanya, dipenuhi segala hajat-kebutuhannya dan terjaga dari segala yang mengkhawatirkan. (al-Muntakhobat, juz I lm 37-38).

Keterangan Kiai Asrori dalam kitab al-Muntakhobat ini tentunya menjadi landasan anjuran membaca berbagai bentuk shalawat yang telah dituntunkan oleh beliau. Sebagai santri, alumni, jama’ah dan umat islam pada umumnya, anjuran yang baik ini tentu perlu ditindaklanjuti dengan pengamalan yang istikomah.

Waba’du; semoga shalawat dan do’a-do’a yang menyertainya membuat kita terampuni dari segala dosa, terpenuhi segala kebutuhan dan terjaga dari segala hal yang mengkhawatirkan. Amin.