Kajian

Bahtsul Masail: Dilema Membatalkan Shalat (Bagian 1)

Soal

Permasalahan yang diangkat dalam musyawarah ini adalah dilema membatalkan shalat. Kasusnya, Ibu nyai yang biasa jadi imam terlambat datang. Waktu shalat akan segera habis, maka majulah santri senior menjadi imam. Ternyata, dipertengahan shalat datanglah Ibu Nyai.

Pertanyaan yang diangkat dalam bahtsul masail ini ada dua. Pertama, bagaimanakah hukum membatalkan shalat sesuai permasalahan di atas? Kedua, apakah dibenarkan tindakan santri membatalkan shalat tadi menurut pandangan fikih?

Sebagaimana diketahui bahwa shalat adalah ibadah yang mengharuskan tumakninah pelakunya. Bergerak lebih dari tiga kali dihukumi dapat membatalkan shalat. Lantas, apakah diperbolehkan membatalkan shalat gara-gara kasus seperti di atas?.

Hal yang memperbolehkan membatalkan shalat

Ibadah shalat dibuka dengan takbiratul ihram dan ditutup dengan salam. Ketika seseorang telah melakukan takbiratul ihram, maka menjadi haram melakukan hal-hal yang membatalkan shalat. Melakukan gerakan di luar gerakan shalat misalnya. Jika ia sampai bergerak lebih dari tiga kali, maka shalatnya batal.

Hukum asal membatalkan shalat adalah haram. Namun, dalam literatur fiqh disebukan beberapa keadaan yang memperbolehkan untuk membatalkan shalat. Berikut penjelasannya dalam Al-Fiqhu wa Adillatuhu Juz 2 hlm. 1053-1054.

مَا تُقْطَعُ الصَّلَاةُ لِأَجْلِهِ: قَدْ يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لِضَّرُوْرَةِ، وَقَدْ يُبَاحُ لِعُذْرٍ. أَمَّا مَا يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لَهُ لِضَرُوْرَةٍ فَهُوَ مَا يَأْتِيْ: تُقْطَعُ الصَّلَاةُ وَلَوْ فَرْضًا بِاسْتِغَاثَةِ شَخْصٍ مَلْهُوْفٍ، وَلَوْ لَمْ يَسْتَغِثْ بِالْمُصَلِّيْ بِعَيْنِهِ، كَمَا لَوْ شَاهَدَ إِنْسَاناً وَقَعَ فِي الْماَءِ، أَوْ صَالَ عَلَيْهِ حَيَوَانٌ، أَو اِعْتَدَى عَلَيْهِ ظَالِمٌ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى إِغَاثَتِهِ. وَلَا يَجِبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قَطْعُ الصَّلَاةِ بِنِدَاءِ أَحَدِ اْلأَبْوَيْنِ مِنْ غَيْرِ اِسْتِغَاثَةٍ؛ لِأَنَّ قَطْعَ الصَّلَاةِ لَا يَجُوْزُ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ.  وَتُقْطَعُ الصّلَاةِ أَيْضاً إِذَا غَلَبَ عَلَى ظَنِّ الْمُصَلِّي خَوْفُ تَرَدِّيِ أَعْمىَ، أَوْ صَغِيْرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا فِي بِئْرٍ وَنَحْوِهِ. كَمَا تُقْطَعُ الصَّلَاةُ خَوْفَ انْدِلَاعِ النَّارِ وَاحْتِرَاقِ الْمَتَاعِ وَمُهَاجَمَةِ الذَّئِبِ الْغَنَمِ؛ لَمَّا فِي ذَلِكَ مِنْ إِحْيَاءِ النَّفْسِ أَوِالْمَالِ، وَإمْكَانِ تُدَارِكُ الصَّلَاةُ بَعْدَ قَطْعِهَا، لِأَنَّ أَدَاءَ حَقِّ اللهِ تَعَالَى مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُسَامَحَةِ

Membatalkan shalat adakalanya wajib dan adakalanya boleh. Wajibnya seseorang untuk membatalkan shalat karena ada kondisi darurat yang mengharuskan mengakhiri shalat walaupun belum selesai. Sementara kebolehan meninggalkan shalat karena adanya udzur.

Berikut kondisi darurat yang mewajibkan seseorang meninggalkan shalat,

Pertama, menolong orang lain yang berpotensi kehilangan nyawa; orang yang tenggelam, diterkam hewan, terdzalimi. Juga, orang buta dan anak kecil yang bias terjatuh ke dalam sumur.

Kedua, menjaga kehilangan harta benda yang dimilikinya. Misal  menjaganya dari kebakaran atau menjaga hewan ternak yang hendak dimangsa hewan buas.

Kedua hal ini harus disertai dugaan kuat, ia masih bisa melaksanakan shalat sesuai waktunya. Bagaimanapun, shalat adalah perintah Allah untuk hambanya yang bersifat wajib. Dan melaksanakan perintah Allah Swt adalah kemutlakan yang tidak bisa ditawar dengan kepentingan apapun.

Selalu Berhusnudhon: Sikap Terhadap Sahabat Dan Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW.

Mengikuti petunjuk dan meneladani sahabat Rasulullah Saw merupakan salah satu pembahasan dalam kitab al-Muntakhobat karya KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy – Allahu yarhamuhu -. Meskipun judulnya hanya sahabat, namun disitu juga menjelaskan  ahlul bait (keluarga) Rasulullah Saw. Pembahasan ini penting untuk dikaji mengingat tidak sedikit dari umat islam yang mencela para sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw sejak dulu hingga sekarang. Seperti kelompok Khawarij yang membenci keduanya, Nawasib yang membenci ahlul bait, Rafidhah yang mencela sahabat, dan kelompok-kelompok lainnya yang seragam dan serupa. Menanggapi tersebut, Kiai Asrori memberikan penjelasan bagaimana harusnya kita bersikap sebagai ahlussunnah terhadap sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw yang telah dijelaskan dalam kitab al-Muntakhobat.

Sahabat Rasulullah Saw, adalah setiap orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw, beriman kepadanya, dan meninggal dalam kondisi muslim walaupun pernah murtad (keluar dari islam) di masa hidupnya. Tentu saja derajat dan keutamaan antar sahabat Rasulullah Saw berbeda-beda. Ada sahabat yang senantiasa mendampingi Rasulullah Saw, ada yang hanya sebentar saja. Ada sahabat yang lebih dahulu masuk Islam, ada pula yang belakangan masuk Islam. Akan tetapi semua sahabat Rasulullah Saw adalah orang-orang yang terpercaya dan merupakan generasi terbaik umat Islam sepanjang masa.

Adapun Istilah ahlul bait baik ditinjau secara bahasa maupun syara’ pada asalnya digunakan atau ditujukan khususnya untuk istri-istri Rasulullah Saw, dan diperluas penggunaannya untuk menyebut semua orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Saw. Dalam pengertian lain, makna ahlul bait yang dimaksud bukan hanya sebagai hubungan kekerabatan saja, namun orang-orang yang sesuai dengan manhaj Rasulullah dan bertaqwa. Pengertian ini lebih relevan saat ini, mengingat tidak sedikit juga orang-orang yang hanya mengandalkan nasab saja tanpa meniru hal ihwal perilaku yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Pujian Terhadap Sahabat Rasulullah

Allah Swt dalam Al-Qur’an memberi pujian pada sahabat dan ahlul bait dalam beberapa ayat, di antaranya dalam QS. al-Fath ayat 29,

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ اَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا  سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْئَهُ فَاٰزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا 

Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Kiai Asrori – dalam al-Muntakhobat, memaparkan bahwa Allah – lewat ayat ini – memuji sahabat dan ahlul bait  Rasulullah sebagai “orang-orang yang bersama Rasulullah”. Selain itu, ayat ini juga menginformasikan bahwa keduanya terjamin, ternaungi dan terjaga (dari kemurtadan). Sehingga ayat ini juga sebagai ancaman bagi orang-orang yang membenci sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadits yang menjelaskan para sahabat Rasulullah Saw laksana nujum, bintang yang mengeluarkan sinarnya sendiri. Dalam hadits ini, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa mencari petunjuk itu dengan cara mengikuti mereka dalam segala perilaku dan suri tauladan mereka, baik lahir maupun batin.

Dalam mengikuti sahabat dan ahlul bait, Kiai Asrori menyebutkan harus secara secara dhahir pun batin. Mengikuti sahabat Rasulullah secara dhahir, telah masyhur di kalangan ulama dan fuqaha’ seperti hukum-hukum tentang halal, haram, pidana, denda, cerai, masalah rumah tangga dan lainnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. yakni,

Orang yang paling sayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling kuat dalam agama Allah adalah Umar, yang paling adalah Utsman, yang paling alim dalam ilmu faraidh adalah Zaid bin Tsabit,, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, yang paling ahli dalam putusan hukum adalah Ali bin Thalib, dan tidak ada langit yang menjadi atap serta tidak ada bumi yang menjadi alas bagi manusia yang lebih jujur dari Abu Dzar.

Hadits di atas mengindikasikan bahwa Rasulullah Saw sendiri yang telah melegitimasi sahabat dalam menyampaikan suatu hukum-hukum (dhahir) Allah SWT.

Selain itu, perilaku batin juga telah masyhur bahkan mutawatir mengenai semua ucapan, perbuatan dan ahwal para sahabat. Salah satu contohnya seperti riwayat dari sayyidina Abu Bakar ra., beliau berkata, “tiga ayat yang telah menyibukkanku dari hal lain, adalah: dari QS. Yunus 107 yang mengingatkan tentang keimanan qadha qadar, QS. Al Baqarah yang mengingatkan dzikir, dan QS Hud yang mengingatkan tentang pengaturan rezeki.” Riwayat ini mengindikasikan bahwa Sayyidina Abu Bakar memberikan pengalaman spiritualnya agar umat tidak lalai dengan nikmat duniawi.

Walhasil, dalam menanggapi kelompok yang mencela para sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw, Kiai Asrori justru memberikan pemahaman bahwa merekalah yang sebenarnya tercela. Beliau menyebutkan dalil-dalil Alquran dan hadis disertai penafsiran yang menunjukkan kemuliaan sahabat yang dipuji secara langsung oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin kita sebagai umat islam mencela orang-orang yang jelas dipuji oleh Allah Swt dan punya posisi penting di sisi Rasulullah Saw? Mengikuti laku para sahabat secara dhahir dan batin tentu sah hukumnya. Apalagi mereka adalah orang-orang yang secara langsung mengamati dan pengamal  laku Rasulullah Saw. Lalu bagaimana sikap kita kala menemukan berbagai perbedaan di kalangan para sahabat atau ahlul bait? Husnudhon, tidak ada yang lain. Meyakini bahwa sahabat telah berijtihad sesuai pengetahuan dan keilmuan mereka masing-masing. Seyogyanya kita mengikuti sahabat yang sesuai dengan hal ihwal dan kondisi kita tanpa mencela sahabat lainnya.

(Kajian Muntakhobat MKPI Al fithrah oleh Dr, Muhammad Khudori M. Th.I)

zsa/dfn

‘Asyura: Peristiwa Penting, Berlabuhnya Kapal Nabi Nuh as, dan Tradisi Membuat Bubur.

Di beberapa daerah di Indonesia hidangan utama peringatan hari ‘Asyura adalah bubur. Masing-masing daerah punya bubur khas untuk memperingati hari penting para Nabi ini. Pembutan bubur ini ternyata bukan tradisi yang dibuat-buat. Lalu, sejak kapan ‘Asyura’ diperingati dengan membuat bubur?

Peristiwa penting di hari ‘Asyura

Ibnu al-Jauzi (Bustaanu al-Waa’idhin, 250) menuliskan, kejadian yang dialami oleh para Nabi di bulan Asyura’.

Pertama, Nabi Adam as. diciptakan di dalam surga dan beliau diterima taubatnya

Kedua, Nabi Idris as. diangkat ke langit

Ketiga, Bahtera Nabi Nuh as. berlabuh dengan selamat di atas bukit Judi (Armenia sebelah selatan)

Keempat, Nabi Ibrahim as. dilahirkan dan diselamatkan dari api.

Kelima, Nabi Yusuf as. dikeluarkan dari dalam sumur tua yang gelap-gulita, dan kedua mata ayahnya, Nabi Ya’kub as. disembuhkan.

Keenam, Terbelahnya lautan untuk dilewati Nabi Musa as. dan tenggelamnya Fir’aun dan pasukannya.

Ketujuh, Nabi Yunus as. dikeluarkan dari perut Ikan dan kaumnya diterima taubat mereka

Kedelapan, Nabi Ayyub as. disembuhkan dari penyakit yang menimpanya

Kesembilan, Nabi Dawud as. diampuni, dan putranya, Nabi Sulaiman as. mendapat kerajaan

Kesepuluh, Nabi Isa as. dilahirkan dan diangkat ke langit.

Berlabuhnya kapal Nabi Nuh as.

Imam Nawawi (Nihayatu al-Zain, 196) menuliskan kisah, kapal Nabi Nuh as. berlabuh dengan selamat di atas bukit Judi (Armenia sebelah selatan) pada Hari ‘ Asyura. Beliau kemudian berkata kepada orang-orang yang bersama dengannya, “kumpulkanlah sisa dari perbekalanmu ! . . .”.

Lalu diantara mereka membawa segenggam kacang, segenggam kedelai, segenggam beras, segenggam gandum merah dan segengam gandum putih. Setelah semuanya terkumpul, Nabi Nuh as. berkata, “masaklah semuanya ! . . . , semoga kalian berbahagia dengan keselamatan yang telah dianugerahkan kepada kalian.”

Tradisi membuat bubur

Kisah Nabi Nuh inilah yang melatarbelakangi umat islam membuat selamatan dengan makanan yang terbuat dari biji-bijian (bubur merah). Makanan itulah adalah permulaan makanan yang ada dipermukaan bumi setelah air bah. Dan, hal yang demikian itu sudah menjadi adat-kebiasaan pada hari ‘Asyura.(Nihayatu al-Zain, 196)

Di hari ‘Asyura umat Islam juga bersyukur atas selamatnya Nabi Musa as. dan Bani Isra’il dari kejaran Fir’aun. Sehingga umat Yahudi pun juga mensyukuri hari ini dengan berpuasa. Selain kisah Nabi Nuh as. dan Nabi Musa as., hari ‘Asyura adalah hari penting bagi banyak Nabi as., yang tentunya harus disyukuri pula.

Idul Adha: Keutaman Bagi Yang Belum Bisa Berkurban

Tidak semua daerah di Indonesia merayakan Idul Adha semeriah Idul Fitri. Namun tak bisa dibilang sedikit, daerah yang Idul Adhanya dirayakan melebihi Idul Fitri. Mudik yang lazimnya dilakukan saat Idul Fitri, bagi daerah-daerah itu juga lazim dilakukan saat Idul Adha.

Berkurban, penyembelihan hewan kurban dan hal-hal seputar kurban menjadi alasan utama Idul Adha patut dirayakan. Jual-beli hewan kurban sudah berlangsung sejak awal bulan Dzulqa’dah.api dan kambing, dua hewan yang lazim disembelih di Indonesia. Harga keduanya bisa mendadak naik tinggi di hari-hari jelang 10 Dzulhijjah.

Panitia-panitia penyelenggara dan pendistribusi kurban, baik dari takmir masjid, pondok pesantren dan ormas tidak hanya menerima hewan kurban. Di tahun-tahun belakangan ini, mereka juga menerima pembelian hewan kurban. Bahkan mereka juga membuka urunan untuk berkurban satu ekor sapi.

Memang tak semua umat islam mampu membeli hewan kurban dan berkurban. Tapi, apakah hanya mereka yang berkurban yang mendapat keutamanan juga keberkahan Idul Adha? Lalu, bagiamana dengan orang-orang yang sepanjang hidupnya belum berkemampuan untuk berkurban?

Keutamaan Idul Adha

Dalam al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menybutkan beberapa keutamaan hari raya Idul Adha. Pertama, mengerjakan shalat Id. Lazim kita ketahui dalam satu tahun Hijriyah, shalat Id hanya dilakukan dua kali; tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah. Ibadah yang dikerjakan setahun dua kali ini tentu sayang untuk dilewatkan.

Kedua, berdzikir (mengingat) Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Ingatlah kepadaku maka Aku akan mengingatmu” (QS. al-Baqarah: 152). Hari Idul Adha adalah waktu yang pas bagi kita untuk kembali mengingat kebesaran Allah. Dimana, takbir-takbir berkumandang sepanjang malam Idul Adha hingga waktu penyembelihan.

Ketiga, berdo’a kepada Allah. Ya, berdo’a memang bisa dilakukan kapan saja. Tapi, sebagiamana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Qarth, Nabi Saw. pernah bersabda, “hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari nahr (penyembelihan) sebagai”. Dan, berdo’a di hari yang agung di sisi Allah tentu lebih utama.

Keempat, berkurban. Berkurban hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas ra., Nabi Saw. bersabda, “aku diperintah (oleh Allah) untuk berkurban. Dan, itu sunah bagi kalian.” Dalam hadits lain disebutkan bahwa Allah Swt. memberikan ampunan atas segala dosa orang yang berkurban sejak tetesan pertama darah hewan yang dikurbankan.

Keutamaan Idul Adha bagi yang belum bisa berkurban

Dari uraian di atas, bagi muslim yang belum bisa berkurban di hari raya Idul Adha tak perlu bersedih. Masih ada tiga keutamaan lain yang bisa mereka raih di hari mulia ini; shalat id, berdzikir dan berdo’a. Maka, meski belum mampu untuk berkurban, sebagai muslim kita patut bersyukur karena bertemu hari yang agung, idul adha.

Disarikan dari al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq, Juz 2 hlm. 67-79

(as/dfn)

Bahtsul Masail: Jual Beli Buket Uang, Apa Hukumnya?

Menjadi trend akhir-akhir ini, hadiah berupa buket  dengan ragam isian dalam berbagai perayaan. Bertahun lalu, lazimnya buket hanya berisi aneka bunga. Tapi, tidak hari ini. Isian buket sekarang lebih bervariasi mulai makanan ringan, rokok, kosmetik, hingga uang.

Trend ini tak luput dari perhatian santri Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Ditambah lagi beberapa waktu yang lalu serangkaian acara wisuda dilaksanakan di Al Fithrah. Dan, berbagai bentuk buket dibawa oleh wali santri untuk diberikan kepada putra-putrinya yang diwisuda.

Trend ini diangkat dalam Bahtsul Masa’il perdana, 14 Juni 2023 yang diadakan di Auditorium Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Di hadiri oleh santri putra perwakilan dari setiap kelas sebagai musyawirin, juga asatidz sebagai perumus dan mushahih.

Rumusan masalah

Pertanyaan diajukan oleh santri kelas XII C PDF Ulya Al FIthrah, dengan fokus hukum dan jenis akad jual beli buket dengan isian uang. Ada dua macam transaksi yang disertakan dalam pertanyaan.

Pertama, penjual hanya menjual buket kosong dan pembeli tinggal menempatkan uang sesuai dengan jumlah yang diinginkan.

Kedua, penjual menjual buket yang sudah berisi uang di dalamnya, dan pembeli membayar dengan nominal yang telah ditentukan

Jalannya bahtsul masail

Bahtsul Masail berjalan dengan perwakilan masing-masing kelas meyodorkan berbagai tawaran jawaban. Jawaban yang ditawarkan juga disertai ibarat yang diambil dari kutubut turats sebagai bentuk pertanggung jawaban ilmiyah.

Berbagai tawaran jawaban itu dikumpulkan di forum perumus, untuk dipilah yang sama dan yang berbeda. Tawaran jawaban yang terkumpul didiskusikan ulang, terkait keabsahan ibarat dan ketepatan menyimpulkan teks yang diambil dari kutubut turats.

Hasil diskusi ini, kemudian menjadi rumusan jawaban yang selanjutnya ditashih oleh ustadz yang memang ahli di bidang ini.

Hukum yang dihasilkan

Mufakat Bahtsul Masa’il menyatakan bahwa hukum jual beli buket uang seperti dalam rumusan masalah ini adalah boleh. Kebolehan ini meninjau dua jenis akad yang bisa dilaksanakan.

Pertama, merujuk teks dalam kitab Fiqh al-Manhaji juz 6 hlm. 120, penjual-pembeli menggunakan akad ijarah. Dalam akad ini pembeli membayar jasa penjual yang sudah membuatkan buket. Selanjutnya pembeli mengisi buket dengan uang sendiri, sebagaimana transaksi pertama dalam rumusan masalah.

الفقه المنهجي (6/ 120)

وكذلك يشترط لصحة الإجارة علي عمل : أن يبيّن نوع العمل الذي سيقوم به الأجير. العلم بقدر المنفعة : ويختلف تقدير المنفعة باختلاف نوعها : فمنها ما يُقدَّر بالزمن ، ومنها ما يقدر بالعمل ، ومنها ما يصحّ فيه الأمران

أ ـ فما تقدر فيه المنافع بالزمن : هو كل منفعة لا يمكن ضبطها بغيره وتقلّ وتكثر، أو تطول وتقصر، كإجارة الدور للسكني ، فإن سكني الدار تطول وتقصر ، وكالإجارة للإرضاع ، فإن ما يشربه الرضيع من اللبن يقلّ ويكثر ، وكالإجارة لتطيين جدار ، فإن التطيين لا ينضبط رقّة وسماكة

ب ـ ما تقدر فيه المنافع بالعمل : وذلك إذا كانت المنفعة معلومة في ذاتها ولكنها قد تستغرق زمناً يقصر أو يطول ، فلا يمكن ضبطها به. وذلك كالاستئجار لخياطة ثوب ، وطلاء جدار ، وطبخ طعام ، ونحو ذلك

فإن مثل هذه المنافع تقدّر بالعمل ولا تقدّر بالزمن ، لأن الزمن فيها قد يطول وقد يقصر ، بينما العمل فيها منضبط ومحدد.

جـ – ما يصحّ تقدير المنفعة فيه بالزمن أو العمل : وذلك كاستئجار شخص لخياطة أو سيارة للركوب ، فيصحّ تقدير المنفعة بالزمن كأن يستأجر يوماً ليخيط هذا الثوب . ويصحّ أن يستأجر السيارة لتوصله من دمشق إلي مكة مثلاً ، فيكون تقدير المنفعة بالعمل ، ولا ينظر إلي ما يستغرق من الوقت ، كما يصحّ أن يستأجر السيارة يوماً أو يومين ، فتكون المنفعة مقدرة بالزمن ، سواء قطع بها المسفة أم لا ، وركبها أم لا

Kedua, merujuk teks dalam kitab Mugni al-Muhtaj juz 2 hlm. 25, penjual-pembeli menggunakan akad bai’. Dalam akad ini penjual dengan menjual buket beserta uang di dalamnya dengan nominal tertentu. Sesuai dengan bentuk transaksi yang kedua. Bahtsul Masail juga menyimpulka transaksi seperti ini bukan termasuk riba.

مغني المحتاج (2/ 25)

وعلة الربا في الذهب والفضة جنسية الأثمان غالبا كما صححه في المجموع ويعبر عنها أيضا بجوهرية الأثمان غالبا وهي منتفية عن الفلوس وغيرها من سائر العروض لا أنها قيم الأشياء كما جرى عليه صاحب التنبيه لأن الأواني والتبر والحلي تجري فيها الربا كما مر وليست مما يقوم بها  واحترز ب غالبا عن الفلوس إذا راجت فإنه لا ربا فيها كما تقدم ولا أثر لقيمة الصنعة في ذلك حتى لو اشترى بدنانير ذهبا مصوغا قيمته أضعاف الدنانير اختبرت المماثلة ولا نظر إلى القيمة

Tetap menjaga kehati-hatian

Hukum yang dihasilkan dalam Bahtsul Masail ini sudah disertai rujukan dan sudah didiskusikan dengan dalam. Meskipun demikian, mushahih dalam Bahtsul Masail ini masih menekankan pentingnya menjaga adab dan etika dalam melakukan transaksi jual beli.

Alih-alih perbuatan memberi hadiah membuahkan pahala, justru malah memerosokkan pelakunya pada jurang riba. Hal ini tentu tidak diingikan oleh siapapun. Oleh karena itu kahati-kehatian tetap harus dijaga dalam melakukan transaksi jual beli.

MKPI (Majlis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah) Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah secara rutin mengadakan Bahtsul Masail setaiap bulan. Harapannya Bahtsul masail menjadi ruang diskusi santri pada masalah teraktual, dan alat berproses dalam merumuskan hukum.

(ahm/dfn)