kajian al muntakhobat

MKPI Ponpes Al Fithrah Gelar Kajian Al-Muntakhabat dengan Tema “Keistimewaan-Keistimewaan Manusia”

Majelis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) Ponpes Assalafi Al Fithrah menggelar kajian kitab al-Muntakhabat karangan KH. Achmad Asrori dengan tema “min khasais al-insan” (Sebagian Keistimewaan Manusia) yang bertempat di auditorium pendopo Ponpes Assalafi Al Fithrah Surabaya pada Rabu (12/06/2024).

Kajian ini merupakan kajian rutinan yang diadakan setiap bulan. Sementara pada sesi ini, kajian al-Muntakhabat merupakan kajian pertama di tahun ajaran baru Ponpes Assalafi Al Fithrah setelah sebelumnya vakum selama tiga bulan karena liburan pondok.

“Momentum kajian spesial ini akan dirutinkan sekali dalam sebulan, merupakan bukti nyata atas kesungguhan kita bersama sebagai santri-santri ponpes Al Fithrah yang dalam hal ini kita tetap menyisakan keinginan kuat untuk terus mengkaji dan menelaah karya pemikiran daripada Romo Kyai Asrori al-Ishaqy,” ujar Ust. Ainul Yaqin selaku ketua panitia kajian Muntakhabat.

Kajian al-Muntakhobat di kesempatan ini, panitia mendatangkan Ust. Abu Sari sebagai narasumber. Beliau merupakan salah satu dosen aktif di Institut Al Fithrah dan sekaligus di Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya. Peserta pada kajian ini terdiri dari santri Wustha, PDF Ulya dan para pengajar di ponpes Al Fithrah. Uniknya, para panitia kajian al-Muntakhabat tidak hanya menyediakan ruang offline tetapi juga online. Sehingga alumni ataupun masyarakat umum bisa ikut meramaikannya melalui link zoom yang dibagikan.

Dalam pemaparannya, Ust. Abu Sari menyampaikan tentang keterbukaan Romo Kyai Asrori al-Ishaqi terhadap ilmu pengetahuan tanpa harus mensimplifikasinya.

“Kata ‘min’ pada min khasais al-insan, mempunyai faidah li al-tab’id yang menunjukkan makna sebagian. Artinya, tidak menutup kemungkinan nanti ada keistimewaan-keistimewaan lain yang dimiliki oleh manusia yang tidak tertulis di sini. Nah, kalau saya memahami ini, pertama menunjukkan sikap akademisi, sifat beliau (Kyai Asrori) sebagai akademisi atau ilmuan yang tidak menutup ruang pintu pengetahuan,” jelas Ust. Abu Sari pada Rabu (12/06/2024).

Sementara itu, Ust. Abu Sari memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai keistimewaan-keistimewaan manusia yang terdapat dalam kitab al-Muntakhabat. Secara garis besar keistimewaan-keistimewaan ini dapat diklasifikasi menjadi tujuh. Pertama, Allah menjadikan dalam raga manusia ruh yang bersifat lembut, sehingga manusia dapat beraktifitas dan memenuhi segala tujuannya. Kedua, Allah menciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk dan dihiasi dengan keindahan-keindahan hikmah-Nya. Ketiga, Allah menciptakan hati manusia untuk menyimpan sirri-rahasia ketuhanan.

Keempat, Allah menjadikan hati manusia menurut fitrahnya (asal ciptaannya) untuk mengetahui hal yang bersifat empiris (nyata) dan benar. Kelima, Allah menjadikan sebagai khalifah di bumi. Keenam, Allah memberikan berbagai macam ilmu dan segala pemahaman pada manusia yang tidak dimiliki oleh selainnya. Ketujuh, Allah menjadikan manusia sebagai salinan alam semesta. Jika alam adalah makro kosmis, maka manusia adalah mikro kosmis. Namun, jika manusia dapat ma’rifat kepada Allah, maka ia dapat menjadi makro kosmis atau semua yang ada adalah salinan wujud darinya.

Selanjutnyam kajian kitab al-Muntakhabat ini dilanjut dengan diskusi melalui pertanyaan-pertanyaan oleh para peserta selama 25 menit. Salah satu penanya dari PDF Ulya, Kahfi Mubarak, memberikan pertanyaan yang cukup menarik tentang keberadaan manusia di bumi. “Jika manusia adalah khalifah di bumi, lantas kenapa manusia selalu melakukan kerusakan?” tanya Kahfi.

Ust. Abu Sari mengawali jawaban pertanyaan itu dengan menyatakan kerusakan yang dilakukan oleh manusia itu merupakan sunnatullah. Namun, bukan berarti Allah tidak mampu menjadikan seluruh manusia di muka bumi untuk ta’at kepada-Nya. Hanya saja, Allah ingin menguji mereka dengan perbedaan tersebut. Hal ini tercermin dalam surah al-Maidah ayat 48 yang artinya, “jika Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang diberikan-Nya kepadamu.”

“Jadi, kalau ada manusia yang rusak, ya biarkan saja! Artinya kita tidak usah ikut-ikutan rusak. Lantas, bagaimana kemudian cara untuk mengoptimalkan manusia sebagai khalifah ya tingkatkan SDM kita dengan cara belajar, bergaul dengan orang baik dan sebagainya. Jadi cara untuk mengoptimalkanmu sebagai khalifah di bumi, caranya ya tingkatkan sumber daya manusiamu,” ungkapnya.

Hal yang dapat diapresiasi dari acara ngaji kitab al-Muntakhabat ini ialah komitmen dan keistiqamahan para peserta untuk mengikuti wawasan ngaji dari awal pembukaan hingga acara selesai. Selanjutnya, Ust. Abdul Hatib sebagai moderator menutup acara dengan doa. Kajian al-Muntakhobat istikomah dilaksanakan satu bulan sekali. Kajian selanjutnya akan dilakukan bulan depan. Isi dari ngaji kitab al-Muntakhabat dapat di lihat di akun youtube Alwava Media.

Selalu Berhusnudhon: Sikap Terhadap Sahabat Dan Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW.

Mengikuti petunjuk dan meneladani sahabat Rasulullah Saw merupakan salah satu pembahasan dalam kitab al-Muntakhobat karya KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy – Allahu yarhamuhu -. Meskipun judulnya hanya sahabat, namun disitu juga menjelaskan  ahlul bait (keluarga) Rasulullah Saw. Pembahasan ini penting untuk dikaji mengingat tidak sedikit dari umat islam yang mencela para sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw sejak dulu hingga sekarang. Seperti kelompok Khawarij yang membenci keduanya, Nawasib yang membenci ahlul bait, Rafidhah yang mencela sahabat, dan kelompok-kelompok lainnya yang seragam dan serupa. Menanggapi tersebut, Kiai Asrori memberikan penjelasan bagaimana harusnya kita bersikap sebagai ahlussunnah terhadap sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw yang telah dijelaskan dalam kitab al-Muntakhobat.

Sahabat Rasulullah Saw, adalah setiap orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw, beriman kepadanya, dan meninggal dalam kondisi muslim walaupun pernah murtad (keluar dari islam) di masa hidupnya. Tentu saja derajat dan keutamaan antar sahabat Rasulullah Saw berbeda-beda. Ada sahabat yang senantiasa mendampingi Rasulullah Saw, ada yang hanya sebentar saja. Ada sahabat yang lebih dahulu masuk Islam, ada pula yang belakangan masuk Islam. Akan tetapi semua sahabat Rasulullah Saw adalah orang-orang yang terpercaya dan merupakan generasi terbaik umat Islam sepanjang masa.

Adapun Istilah ahlul bait baik ditinjau secara bahasa maupun syara’ pada asalnya digunakan atau ditujukan khususnya untuk istri-istri Rasulullah Saw, dan diperluas penggunaannya untuk menyebut semua orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Saw. Dalam pengertian lain, makna ahlul bait yang dimaksud bukan hanya sebagai hubungan kekerabatan saja, namun orang-orang yang sesuai dengan manhaj Rasulullah dan bertaqwa. Pengertian ini lebih relevan saat ini, mengingat tidak sedikit juga orang-orang yang hanya mengandalkan nasab saja tanpa meniru hal ihwal perilaku yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Pujian Terhadap Sahabat Rasulullah

Allah Swt dalam Al-Qur’an memberi pujian pada sahabat dan ahlul bait dalam beberapa ayat, di antaranya dalam QS. al-Fath ayat 29,

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ اَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا  سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْئَهُ فَاٰزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا 

Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Kiai Asrori – dalam al-Muntakhobat, memaparkan bahwa Allah – lewat ayat ini – memuji sahabat dan ahlul bait  Rasulullah sebagai “orang-orang yang bersama Rasulullah”. Selain itu, ayat ini juga menginformasikan bahwa keduanya terjamin, ternaungi dan terjaga (dari kemurtadan). Sehingga ayat ini juga sebagai ancaman bagi orang-orang yang membenci sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadits yang menjelaskan para sahabat Rasulullah Saw laksana nujum, bintang yang mengeluarkan sinarnya sendiri. Dalam hadits ini, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa mencari petunjuk itu dengan cara mengikuti mereka dalam segala perilaku dan suri tauladan mereka, baik lahir maupun batin.

Dalam mengikuti sahabat dan ahlul bait, Kiai Asrori menyebutkan harus secara secara dhahir pun batin. Mengikuti sahabat Rasulullah secara dhahir, telah masyhur di kalangan ulama dan fuqaha’ seperti hukum-hukum tentang halal, haram, pidana, denda, cerai, masalah rumah tangga dan lainnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. yakni,

Orang yang paling sayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling kuat dalam agama Allah adalah Umar, yang paling adalah Utsman, yang paling alim dalam ilmu faraidh adalah Zaid bin Tsabit,, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, yang paling ahli dalam putusan hukum adalah Ali bin Thalib, dan tidak ada langit yang menjadi atap serta tidak ada bumi yang menjadi alas bagi manusia yang lebih jujur dari Abu Dzar.

Hadits di atas mengindikasikan bahwa Rasulullah Saw sendiri yang telah melegitimasi sahabat dalam menyampaikan suatu hukum-hukum (dhahir) Allah SWT.

Selain itu, perilaku batin juga telah masyhur bahkan mutawatir mengenai semua ucapan, perbuatan dan ahwal para sahabat. Salah satu contohnya seperti riwayat dari sayyidina Abu Bakar ra., beliau berkata, “tiga ayat yang telah menyibukkanku dari hal lain, adalah: dari QS. Yunus 107 yang mengingatkan tentang keimanan qadha qadar, QS. Al Baqarah yang mengingatkan dzikir, dan QS Hud yang mengingatkan tentang pengaturan rezeki.” Riwayat ini mengindikasikan bahwa Sayyidina Abu Bakar memberikan pengalaman spiritualnya agar umat tidak lalai dengan nikmat duniawi.

Walhasil, dalam menanggapi kelompok yang mencela para sahabat dan ahlul bait Rasulullah Saw, Kiai Asrori justru memberikan pemahaman bahwa merekalah yang sebenarnya tercela. Beliau menyebutkan dalil-dalil Alquran dan hadis disertai penafsiran yang menunjukkan kemuliaan sahabat yang dipuji secara langsung oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin kita sebagai umat islam mencela orang-orang yang jelas dipuji oleh Allah Swt dan punya posisi penting di sisi Rasulullah Saw? Mengikuti laku para sahabat secara dhahir dan batin tentu sah hukumnya. Apalagi mereka adalah orang-orang yang secara langsung mengamati dan pengamal  laku Rasulullah Saw. Lalu bagaimana sikap kita kala menemukan berbagai perbedaan di kalangan para sahabat atau ahlul bait? Husnudhon, tidak ada yang lain. Meyakini bahwa sahabat telah berijtihad sesuai pengetahuan dan keilmuan mereka masing-masing. Seyogyanya kita mengikuti sahabat yang sesuai dengan hal ihwal dan kondisi kita tanpa mencela sahabat lainnya.

(Kajian Muntakhobat MKPI Al fithrah oleh Dr, Muhammad Khudori M. Th.I)

zsa/dfn