Kajian

Kapan Tanggal 1 Muharram 1446 H.?

Menyambut awal bulan Muharram 1446 H. dan tahun baru hijriyah, Lajnah Falikyah Al Fithrah merilis hasil hisab. Hisab ini berdasar metode Ephimeris, dengan koordinat Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Selain hisab bermarkaz ponpes Al Fithrah, LF. Al Fithrah juga merilis hasil hisab awal bulan Muharram dengan lokasi ibu kota provinsi se-Indonesia.

Berdasarkan hasil hisab LF. Al Fithrah dengan markaz ponpes Al Fithrah Surabaya, Ijtimak bulan Dzulhijjah 1445 H, jatuh pada hari Sabtu Wage, 06 Juli 2024 M. pada pukul 05:55 WIB. Kondisi hilal di tanggal 29 Dzulhijjah 1445 H. / 06 Juli 2024 M. saat ghurub (matahari terbenam) pada pukul 17.25 WIB, tinggi 04° 19′ dari garis ufuk dan elongasi 07° 35′ dari posisi matahari. Lama hilal di atas ufuk 16 menit.

Kondisi hilal tertinggi saat matahari tenggelam berada di Banda Aceh, dengan ketinggian 05° 20′, elongasi 07° 47′ dan lama hilal di atas ufuk 24 menit. Posisi hilal berada di kisaran 27° dari arah barat menuju utara dan berada di sebelah utara matahari. Berdasar hasil hisab ini, kondisi dan posisi hilal berada di posisi Imkanu Ru’yat (mungkin dilihat). Sehingga potensi besar 1 Muharram 1446 H. jatuh pada Ahad Kliwon, 07 Juli 2024 M.

LF Al Fithrah sendiri akan mengadakan rukyat di ponpes Al Fithrah pada Sabtu sore (06/07/2024). Tepatnya di gedung baru sebelah timur, di lantai 6. Rukyat akan diikuti oleh tim LF Al Fithrah dan perwakilan santri kelas XII PDF Ulya. Pelajaran hisab awal bulan diajarkan di kelas XII PDF Ulya. Sehingga, kegiatan rukyat ini sebagai lanjutan dari pembelajaran hisab di kelas.

Unduh hasil hisab LF Al Fithrah
01 Muharram EPHIMERIS Al Fithrah
01 Muharram EPHIMERIS Indonesia

Keistimewaan Manusia dalam Pandangan KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy (2)

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan tiga keistimewaan manusia menurut KH. Achmad Asrori al-Ishaqy yang dikaji oleh Ust. Abu Sari dalam kajian al-Muntakhobat. Selain tiga keistimewaan sebelumnya, Ust. Abu juga memaparkan keistimewaan manusia lainnya yang ditulis Kiai Asrori dalam kitabnya, al-Muntakhobat.

Keempat, Allah jadikan hati manusia menurut fitrahnya yaitu layak dan pantas untuk menerima kebenaran yang bersifat absolut atau empiris, dapat menerima hakikat pengetahuan dan siap menerima amanah serta tanggung jawab. Kiai Asrori dalam bagian ini menyebutnya dengan term qalb (hati) karena hati sebagaimana dijelaskan al-Ghazali, ialah sumber pengetahuan. Melalui hati, terdapat energi yang mengirim sinyal pada otak.

Berbicara mengenai fitrah, banyak para ulama’ memberikan interpretasi yang berbeda. Diantaranya ada yang mengartikan bahwa fitrah memiliki hubungan dengan QS. al-A’raf ayat 172, utamanya pada peggalan ayat alastu birobbikum qolu bala syahidna artinya “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.”. Fitrah pada pendapat ini ialah mengenai keyakinan kita kepada Allah.

Berikutnya, makna fitrah yang berhubungan dengan hadis Nabi yang artinya, “setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya” (H.R Bukhari dan Muslim). Bayi yang baru lahir, ibarat kertas putih yang masih bersih, tinggal tinta apa yang akan ditorehkan, jika bayi dididik dengan wawasan-wawasan maka ia akan berpengetahuan luas. Terakhir maksud dari  fitrah ialah potensi.

Menurut pendapat terakhir ini fitrah dibagi dua yaitu aqliyah dan jasadiyah. Maksud fitrah aqliyah adalah akal manusia bisa menerima kebenaran-kebenaran atau fakta empiris dan kedua, fitrah jasadiyah adalah fitrah yang terkait dengan asal potensi dan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. Dari klasifikasi fitrah tersebut, dapat dipahami bahwa fitrah yang dikehendaki oleh Kyai Asrori pada bagian empat ini adalah fitrah yang orientasinya pada potensi baik potensi aqliyah atau jasadiya, sebagaimana penjelasan di atas.

Kelima, Allah jadikan manusia sebagai penguasa terhadap seluruh fenomena dalam kehidupan karena manusia diutus oleh Allah di bumi sebagai khalifah (pemimpin). Khalifah yang dimaksud di sini adalah manusia di muka bumi sebagai pengganti Allah dalam merealisasikan dan menerapkan hukum-hukum Allah serta perintah-perintahnya, termasuk dalam menegakkan keadilan dan menjaga hak asasi manusia.

Selain itu, Allah juga mengutus manusia sebagai pemakmur di bumi hal ini termaktub dalam Surah al-Hud ayat 61 yang artinya, “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya…”. Secara tidak langsung, ayat ini menjelaskan, manusia diutus oleh Allah selain sebagai khalifah juga sebagai pemakmur dengan cara menggali potensi-potensi alam yang bisa memberikan manfaat pada dirinya dan orang lain.

Keenam, Allah membuka dan memberikan manusia berbagai macam pengetahuan bahkan manusia dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan pemahaman yang tidak Allah berikan pada yang lain. Penggalian kyai Asrori pada keistimewaan manusia di bagian ini ialah berlandaskan dialog Allah dengan malaikat yang dapat ditemukan dalam surah al-Baqarah ayat 30-33. Secara garis besar ayat-ayat yang saling berkelindan ini mengandung dua substansi yakni manusia sebagai khalifah dan Allah memberikan pengetahuan luar biasa kepada manusia.

Ketujuh, Allah jadikan manusia sebagai jalinan dari alam semesta melalui bentuknya. Artinya, bentuk manusia yang Allah ciptakan memiliki keserupaan dengan bentuk alam. Jika ditinjau dari kajian kosmologi, alam dibagi menjadi dua yaitu mikro kosmis (alam kecil) dan makro kosmis (alam besar). Pada kajian ini manusia berada pada bagian pertama yaitu mikro kosmis dan alam adalah makro kosmis.

Namun, tidak menutup kemungkinan, manusia bisa menjadi makro kosmis ketika derajatnya naik karena kemakrifatannya kepada Allah, sebaliknya alam yang menjadi mikro (kecil). Dalam kata lain, derajat ini bisa dicapai ketika ruhaniyahnya bisa mengalahkan basyariyahnya.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasannya keutaman yang Allah berikan kepada manusia merupakan bentuk kemuliaan, sebagaimana tercermin dalam surah al-Isra’ ayat 70 “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.

Pada sisi lain dengan segala kemampuan yang Allah berikan, manusia juga memiliki tugas sebagai khalifah (pemimpin) dan mustamir (pemakmur) di muka bumi, artinya manusia memiliki peran utama dalam menegakkan hukum-hukum Allah dan melestarikan potensi alam, menjaga keadilan, kemakmuran, termasuk keseimbangan ekologi dan selainnya. Sehingga, untuk menjaga kemuliaan dan keutamaan yang Allah anugerahkan tersebut, seyogianya manusia dapat mengoptimalisasikan potensi dirinya, termasuk dengan mengasah spiritual dan intelektual.

Dirangkum dari Kajian al-Muntakhabat oleh Majelis Kebersamaan dalam Pembahasan ilmiah (MKPI) pada Rabu (12/06/2024)

Keistimewaan Manusia dalam Pandangan KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy (1)

Kitab al-Muntakhabat merupakan karya Magnum Opus KH. Achmad Asrori al-Ishaqy. Kitab ini adalah kitab tasawuf yang pembahasannya cukup rinci. Sehingga, sangat cocok dijadikan pegangan untuk menambah pengetahuan tentang dunia sufistik dan sebagai pengantar untuk bermakrifat kepada Allah.

Salah satu pembahasan menarik dalam kitab al-Muntakhabat ini ialah pembahasan tentang keistimewaan-keistimewaan manusia. Keistimewaan yang dimaksud di sini adalah keistimewaan yang Allah anugerahkan kepada manusia yang tidak dimiliki oleh selainnya dan bahkan tidak dimiliki oleh malaikat. Dengan demikian, tulisan ini akan mengurai keistimewaan-keistimewaan manusia perspektif Kiai Asrori.

Adanya tujuan mengetahui keistimewaan-keistimewaan manusia di sini bukan berarti untuk disombongkan melainkan untuk disyukuri sebagai anugerah dari Allah swt.

Dalam kitab al-Muntakahabat ini, Kiai Asrori memberikan judul pada tema ini dengan “min khasa’is al-insan” (sebagian dari keistimewaan manusia). Artinya, bermacam keistimewaan yang disebutkan dalam kitab ini hanya sebagian saja. Dan, tidak menutup kemungkinan ada keistimewaan-keistimewaan lain yang tidak disebutkan karena kata “min” pada judul tersebut berfaidah li al-tab’id.

Keistimewaan Manusia

Kiai Asrori menuliskan beberapa keistimewaan manusia dalam al-Muntakhabat. Pertama, Allah jadikan ruh manusia yang sifatnya lembut dan immaterial yang tidak bisa diraba, dimasukkan ke dalam raga manusia yang sifatnya material. Tujuannya adalah agar manusia dapat bergerak dan beraktifitas. Ruh yang dimaksud ini baik orientasinya pada ‘nyawa’ yang dapat menghidupkan jasad yang mati atau ruh al-mudrikah yakni ruh yang memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami. Dari kedua pengertian ruh tersebut, kedua-duanya masuk dalam bagian ini, sehingga manusia bisa bangkit, berkreasi dan melakukan apa saja karena ada ruh dalam jasadnya.

Lebih jauh, Ust. Abu Sari dalam kajian al-Muntakhabat mengutip pendapat Abu Hamid al-Ghazali dalam Mizan al-Amal mengenai jiwa dan raga. Eksistensi jiwa merupakan bagian yang berdiri sendiri karena jiwa dan raga berada pada dimensi yang berbeda. Jika raga bersifat material, terdiri dari unsur-unsur yang membentuk; kepala, tangan, kaki dan sebagainya, maka jiwa bersifat immaterial yang mempunyai daya mengerti dan memahami. Jadi, jiwa inilah yang kemudian berkaitan dengan qalb (hati), akal dan ruh itu sendiri.

Kedua, Allah jadikan raga manusia dalam ciptaan yang amat sempurna. Kemudian, Allah hiasai dengan berbagai keindahan dari makhluk-Nya. Dan, manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah dengan begitu mengagumkan.

Imam al-Ghazali dalam kitab Asrar al-Makhluqat (rahasia-rahasia dibalik semua ciptaan), membahas secara khusus tentang hikmah dan rahasia diciptakannya manusia. Melalui kitab ini al-Ghazali meyakinkan bahwa manusia adalah ciptaan yang sangat mengagumkan. Hal ini bisa dilihat dari asal mula proses penciptaannya yang berasal dari nutfah (air mani), setelah itu bertransformasi menjadi ‘alaqah (segumpal darah), lalu mudghah (segumpal daging). Kemudian, ada tulang-tulang yang dibungkus dengan daging dan daging diikat dengan otot. Otot-otot ini tersebar di seluruh tubuh dan memiliki fungsinya masing-masing. Pada akhirnya, dengan perincian yang cukup luas ini al-Ghazali menyimpulkan “jasaduka kulluha ‘ajaib” (jasadmu itu secara keseluruhan adalah keajaiban).

Ketiga, Allah jadikan hati manusia sebagai bejana yang dapat menampung makna, hikmah dan rahasia ketuhanan. Oleh sebab itu, Rasulullah dalam hadisnya menyatakan,

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” [HR. Muslim]

Kaitannya dengan bagian keistimewaan manusia yang ketiga ini ialah Allah tidak memandang manusia dari rupa dan harta melainkan apa yang hadir dalam hati manusia. Sehingga, makna yang muncul dalam hati adalah dimensi yang menjadi pusat perhtian bagi Allah. Dalam menjelaskan bagian yang ketiga ini, Kiai Asrori mengutip hadis dari Imam al-Thabrani yang artinya, “Sesungguhnya Allah mempunyai bejana di bumi yakni hati. Sedangkan bejana (hati) yang paling disenangi oleh Allah adalah bejana yang paling jernih, kuat dan lembut”. Menafsiri hadis ini, Ali bin Abi Thalib berkata, maksud dari hadis di atas ialah jernih dalam keyakinan, kuat dalam perpegang teguh pada agama dan lembut pada sesama.

Lailatul Qadar, di Malam 27 Ramadhan?

Di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, setiap malam 27 Ramadhan diadakan majlis dzikir dan shalat malam. Majlis ini secara istikomah dilaksakan oleh Hadrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori al-Ishaqi. Dalam sebuah kesempatan beliau menuturkan mengapa memilih malam 27 Ramadhan sebagai penempatan majlis ini. Harapan mendapat malam Lailatul Qadar di dalam majlis ini adalah jawabannya.

Lailatul Qadar di Sepuluh Malam Terakhir Ramadan

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي الوِتْرِ، مِنَ العَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Dari Sayyidah ‘Aisyah RAH, Rasulullah SAW bersabda, “carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir Ramadan”.

Lailatul Qadar di Tujuh Malam Terakhir Ramadan

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أُرُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي المَنَامِ فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ، فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الأَوَاخِرِ

Dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa ada seorang dari sahabat Nabi SAW yang menyaksilan Lailatul Qadar dalam mimpi terjadi pada tujuh hari terakhir. Lalu Rasulullah SAW berkata, “Aku memandang bahwa mimpi kalian – tentang Lailatul Qadar – terjadi pada tujuh malam terakhir, maka siapa yang mencarinya, hendaknya ia mencari di tujuh malam terakhir”.

Lailatul Qadar di Malam 21, 23, dan 25 Ramadan

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «اِلْتَمِسُوْهَا فِي العَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ القَدْرِ، فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى، فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى، فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

Dari Ibnu ‘Abbas RAH bahwa Nabi SAW bersabda, “carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan, pada sisa malam kesembilan, pada yang ketujuh, pada yang kelima”.

Lailatul Qadar di Malam 27 Ramadan

عَنِ ابْنِ عُمَر -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -قَالَ: “كَانُوْا لَا يَزَالُوْنَ يَقُصُّوْنَ عَلَى النَّبِي -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -الرُّؤْيَا مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ النَّبِي -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاتَرَتْ إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيًا فَلْيَتَحَرَّهَا اللَّيْلَةَ السَّابِعَةِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ”

Dari Ibnu ‘Umar RA, beliau berkata, “beberapa sahabat terus-menerus bercerita tentang mimpi di sepuluh hari terakhir Ramadan. Lalu Rasulullah SAW berkata, “Aku melihat bahwa mimpi kalian – tentang Lailatul Qadar – berturut-turut terjadi di malam ketujuh dari sepuluh hari akhir Ramadan. Maka siapa yang mencarinya, hendaknya ia mencari di di malam ketujuh dari sepuluh hari akhir Ramadan “.

عَنِ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ تِسْعَةُ أَحْرُفٍ وَهُوَ مَذْكُوْرٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَتَكُوْنُ الْجُمْلَةَ سَبْعَةِ وَعِشْرِيْنَ

Ibnu Abbas berkata, “lafadz lailatul qadar terdiri dari sembilan huruf. Lafadz ini diulang tiga kali – dalam surat al-Qadar -, sehingga jumlah semua hurufnya 27”.

Kesimpulan

Pemilihan malam 27 Ramadhan oleh Kiai Asrori sebagai pelaksanaan majlis yang istikomah dilaksanakan di ponpes Al Fithrah ternyata memiliki dasar. Baik itu hadits Nabi Saw, dan pendapat sahabat. Meskipun malam 27 adalah acara puncak qiyamul lail di ponpes Al Fithrah, tapi di malam setelahnya shalat malam pun masih diselenggarakan.

Sehingga membaca hal ini, diantara buah seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadar ia masih beribadah hingga akhir Ramadhan. Dan, di bulan setelahnya Lailatul Qadar akan membekas di hatinya dengan wujud istikomah beribadah dan berbuat baik pada sesama manusia.

Referensi:

Shahihu al-Bukhari
al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq
Muraahu Labiidi

Anjuran Bersegera Berbuka Puasa

Tak terasa kita telah berpuasa di hari ke-2 bulan Ramadhan. Bulan yang penuh dengan kesunahan dan berlipat balasan. Di antara kesunahan yang disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW, adalah kesunahan menyegerakan berbuka puasa.

Kesunahan ini maklum diketahui oleh umat islam. Sehingga, bagi mereka yang menduga masih di jalan ketika waktu buka tiba, mereka telah menyiapkan air minum atau camilan untuk mendapat kesunahan berbuka. Tak hanya itu, menu berbuka meski sederhana juga tersedia di banyak masjid dan mushala. Bahkan akhir-akhir ini juga dibagikan di jalan raya.

Dalil menyegerakan berbuka

Ada banyak hadits yang menginformasikan anjuran Rasulullah SAW untuk menyegerakan berbuka.  Di antaranya yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka.”

Para sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud ra juga menyegerakan berbuka puasa. Ketika Masyruq menanyakan perihal itu kepada Sayyidatina Aisyah RAH, Beliau RAH mengkonfirmasi bahwa hal serupa juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Dari berbagai riwayat tadi, cukup bagi kita untuk mengambil informasi, Rasulullah Saw. menyegerakan berbuka puasa. Keluarga dan para sahabat beliaupun mengikutinya.

Berbuka sewajarnya

Ada satu hal yang sering terlewat dari anjuran menyegerakan berbuka. Yaitu, berbuka sewajarnya. Menilik pada hadits, Rasulullah SAW tidak berlebih-lebihan dalam berbuka. Beliau SAW hanya berbuka dengan kurma dan air. Setelah itu beliau bersegera melakukan shalat Maghrib.

Ini perlu menjadi perhatian. Karena lazim terjadi menu berbuka melebihi menu makan di hari biasa. Ditambah kenikmatan menyantap sambil bercakap-cakap, tanpa sadar waktu Maghrib begitu saja lenyap. Niat hati mendapat kesunahan malah tertigallah kewajiban.

Dan, tak jarang karena terlalu banyak mengonsumsi makanan saat berbuka, ibadah-ibadah lainnya juga terlewatkan. Kondisi perut yang seharian menahan lapar, seakan kaget begitu berbebagai makanan tersantap. Alih-alih mendapat tambahan kekuatan untuk mengisi malam bulan Ramadhan dengan beribadah, yang di dapah hanya bermimpi indah.

Berdo’a segera setelah berbuka

Lazim kita dengar do’a yang dibaca setelah adzan maghrib di televisi saat bulan Ramadhan. Dalam beberapa literatur fiqh do’a itu dibaca segera setelah berbuka. Bukan sebelum berbuka. Sebagaimana yang ditulis oleh Sayyid Abu Bakar Syatha dalam I’anatu al-Thalibin (2/279)

وَيُسَنُّ أَنْ يَّقُوْلَ عَقِبَ الْفِطْرِ: اَللّٰهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ، وَيَزِيْدُ – مَنْ أَفْطَرَ بِالْماَءِ -:  ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ، إِنْ شَاءَ اللهُ.

Disunnahkan setelaah berbuka mengucapkan: Allahumma laKa shumtu, wa biKa amantu, wa ‘alaa rizkiKa afthartu, bagi yang berbuka dengan air menambahkan dengan: dzahabadh dhamau wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa-aLlah.

Waba’du; selamat melanjutkan ibadah puasa Ramadhan dan merengkuh berbagai kesunnahan di dalamnya. Semoga segala hal yang kita lakukan selama Ramadhan bernilai ibadah dan mendapat Ridha dari-Nya. Amin.

Referensi:
(1) Riyadhu al-Shalihin hlm. 347,
(2) I’anatu al-Thalibin Juz 2 hlm. 277-279,
(3) Nihayatu al-Zain hlm. 194