Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (1)
Kajian al-Muntakhabat tentang akal yang menjadi fokus pembahasan pada tulisan ini merupakan lanjutan dari kajian al-Muntakhabat pada seri sebelumnya yang membahas tentang “khashais al-insan” (Keistimewaan-keistimewaan Manusia). Setelah bab keistimewaan manusia inilah, dapat ditemukan pembahasan akal dan seluk beluknya; mengenai keutamaan, klasifikasi, tempat akal serta komparasi antara ilmu dan akal.
Oleh sebab itu, melalui kajian al-Muntakhabat yang diadakan oleh Majlis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) pada Selasa (23/07), tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan akal dalam al-Muntakhabat oleh Ust. Tajul Muluk melalui kajian tematik dengan judul “Akal: antara Materi dan Potensi”.
Menurut Ust. Tajul, adanya judul ini dilatarbelakangi oleh sebuah pernyataan bahwa setiap manusia memiliki akal yang berfungsi untuk membedakan antara manusia dengan mahluk Allah yang lain. Ironisnya, akal tersebut hanya menjadi materi saja (punya akal tetapi tidak digunakan dengan sesuai fungsinya). Sehingga, ketika sudah pada dimensi ini manusia hanya menggunakan akalnya sebagai materi saja, tidak sebagai materi yang memiliki potensi.
Kemuliaan dan Keutamaan Akal
Dalam pembahasan awal mengenai akal, Kyai Asrori mengutip pendapatnya Imam al-Mawardi, menyatakan bahwa setiap keutamaan itu memiliki basis atau dasarnya dan setiap adab pasti ada sumbernya. Adapun basis keutamaan dan sumber adab ini ialah akal yang diciptakan oleh Allah sebagai pangkal agama dan pilar dunia. Pernyataan Imam al-Mawardi ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa keistimewaan manusia itu berbanding lurus dengan fungsi yang optimal dari akalnya masing-masing. Semakin akal difungsikan secara optimal, seseorang tersebut akan memiliki keutamaan dan moralitas yang baik.
Beberapa hal yang mengindikasikan kemuliaan dan keutamaan ialah: pertama, taklif. Manusia yang sudah lahir ia memiliki akal tetapi belum dikenai hukum taklif. Sehingga, hukum taklif ini berlaku ketika seseorang sudah mumayyiz sebagai barometer awal seorang muslim dikatakan mampu dibebani oleh hukum syari’at. Kedua, tatanan kehidupan sosial. Basis daripada tatanan kehidupan sosial yang baik ialah akal. Salah satu contohnya, dalam ushul al-fiqh dikenal dengan “al-‘adah muhakkamah” yakni perbuatan manusia yang berulang-ulang dan bisa diterima oleh akal, maka dapat dijadikan sebagai acuan hukum.
Ketiga, Akal dapat menjadi jembatan (bridge) dalam relasi sosial. Ibaratnya seorang pasangan suami istri, sebelum menikah idealnya antara laki-laki dan perempuan memiliki basis tersendiri dalam menakar kesesuaian dengan pasangannya, apakah cocok atau tidak. Sehingga, untuk mengetahui kecocokannya tersebut dijembatani oleh akal. Keempat, akal menjadi hulu atau sumber daripada ilmu pengetahuan sebagaimana disebutkan al-Ghazali, “al-aqlu manba’ul ilmi” (akal adalah sumber ilmu pengetahuan).