alfithrah surabaya

Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya Raih Predikat Mumtaz dalam Asesmen Akreditasi Majelis Masyayikh Kemenag RI

Alhamdulillah, kabar gembira kembali menyelimuti keluarga besar Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya. Lembaga pendidikan tinggi pesantren ini resmi meraih predikat Akreditasi Mumtaz, hasil dari asesmen yang dilakukan oleh Majelis Masyayikh Kemenag Republik Indonesia. Pencapaian tersebut bukan hanya membuktikan kualitas lembaga dari sisi administrasi, tetapi juga mencerminkan kedalaman tradisi keilmuan, kesungguhan para masyayikh, serta ketekunan para thullab dalam menempuh jalan ilmu.

Predikat Mumtaz merupakan tingkatan tertinggi dalam standar akreditasi Ma’had Aly. Ia menjadi simbol bahwa sebuah lembaga bukan hanya memenuhi standar, tetapi melampaui ekspektasi, baik dari aspek kurikulum, tradisi ilmiah, mutu pengajaran, hingga penguatan karakter santri. Keberhasilan ini merupakan karunia besar yang pantas disyukuri, sekaligus bukti nyata bahwa perjuangan panjang yang dijalankan selama ini berbuah manis.

Makna Predikat Mumtaz dan Pengakuan Majelis Masyayikh

Majelis Masyayikh Kemenag RI merupakan lembaga tertinggi yang mengatur standarisasi mutu pendidikan pesantren, termasuk Ma’had Aly. Ketika sebuah lembaga mendapatkan predikat Mumtaz, itu berarti lembaga tersebut telah memenuhi standar keilmuan, kelembagaan, dan atmosfir akademik yang sangat tinggi.

Bagi Ma’had Aly Al Fithrah, predikat ini menjadi stempel kehormatan bahwa lembaga tersebut tidak hanya sekadar berdiri, tetapi berdiri dengan kokoh di atas tradisi ilmiah pesantren yang telah diwariskan para ulama.

Nilai Mumtaz ini lahir dari proses panjang yang penuh dinamika—mulai dari penyusunan kurikulum yang menjaga keseimbangan antara turats dan keilmuan kontemporer, evaluasi internal berkala, hingga konsistensi dalam menjaga adab thalabul ‘ilmi. Semuanya berpadu menjadi bukti bahwa Ma’had Aly Al Fithrah menjalankan amanah pendidikan bukan setengah hati, tetapi dengan sepenuh keikhlasan dan ketekunan.

Perjalanan Panjang: Dari Muroja’ah, Diskusi, hingga Evaluasi Tanpa Henti

Dalam keterangan pihak Ma’had Aly, pencapaian ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia adalah buah dari perjalanan panjang yang dipenuhi murāja’ah setiap malam, diskusi ilmiah yang tidak pernah surut, dan rapat-rapat evaluasi yang kadang berlangsung lebih lama daripada daftar hadir itu sendiri.

Para masyayikh dan muhadir (dosen) tak henti menanamkan ruh keilmuan, sementara para thullab dengan penuh semangat memakmurkan halaqah, kajian kitab, dan rutinitas akademik lainnya. Doa para pengasuh yang senantiasa mengalir ke langit menjadi energi yang tidak terlihat, namun sangat terasa keberkahannya.

Akreditasi Mumtaz ini menjadi bukti bahwa tradisi keilmuan yang dijalankan di Ma’had Aly Al Fithrah bukan formalitas, melainkan perjalanan ruhani dan intelektual yang hidup. Sebuah perjalanan yang menjadikan ilmu bukan sekadar materi dan ujian, tetapi juga adab, khidmah, dan kedekatan kepada Allah.

Mumtaz Bukan Garis Akhir, Tetapi Garis Awal untuk Melangkah Lebih Tinggi

Salah satu pesan penting dari pencapaian ini adalah bahwa predikat Mumtaz bukanlah garis akhir suatu perjuangan. Justru, ia menjadi garis start baru. Semakin tinggi pengakuan yang diraih, semakin besar pula amanah yang harus dipikul.

Predikat Mumtaz menjadi pengingat bahwa seluruh civitas Ma’had Aly—mulai dari mudir hingga para santri—harus terus memupuk kedisiplinan, memperkuat budaya ilmiah, serta menjaga adab dalam menuntut ilmu. Zona nyaman bukanlah tempat bagi mereka yang ingin terus maju. Oleh sebab itu, pencapaian ini menjadi momentum untuk melangkah lebih jauh, lebih dalam, dan lebih berkualitas dalam pengabdian dan penyebaran ilmu.

Harapannya, melalui pengakuan ini, Ma’had Aly Al Fithrah semakin mampu mencetak kader ulama yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga jernih hati, kuat adabnya, dan luas pengabdiannya kepada umat.

Penutup

Seluruh keluarga besar Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya patut bersyukur dan berbahagia. Prestasi gemilang ini merupakan hasil kerja bersama—para masyayikh, muhadir, para santri, pengurus, dan seluruh pendukung pesantren. Semoga Allah menjaga keberkahan ilmu di lingkungan Ma’had Aly Al Fithrah dan menjadikannya wasilah lahirnya ulama-ulama yang istiqamah, tawadhu’, serta bermanfaat bagi umat. Aamiin

Adab Berdoa Nabi Zakaria AS dari Surah Maryam: Kunci Doa Mustajab

Kita semua pernah berada di titik di mana kita merasa doa terasa jauh, entah karena permintaan itu terlalu besar atau kondisi kita secara logika mustahil. Namun, Al-Qur’an menyajikan sebuah pelajaran emas yang indah melalui kisah Nabi Zakaria AS dalam Surah Maryam (ayat 1–11).

Kisah ini bukan hanya tentang bagaimana Allah mengabulkan permintaan yang mustahil (keturunan di usia tua dan istri mandul), tetapi tentang adab yang beliau tunjukkan saat mengetuk pintu langit. Nabi Zakaria mengajarkan kita bahwa fokus utama bukanlah pada “apa” yang kita minta, melainkan “bagaimana” cara kita meminta.

Mari kita bongkar pelajaran emas adab berdoa dari Surah Maryam yang bisa membuat curahan hati kita lebih didengar dan dicintai oleh-Nya.

Memulai Doa dengan Kerendahan Hati dan Pengakuan Diri

Adab berdoa bukanlah sekadar rangkaian kata-kata, melainkan kondisi hati. Nabi Zakaria mengawalinya dengan cara yang menakjubkan. Beliau tidak langsung meminta, tetapi melakukan pengakuan tulus tentang kondisi dan kelemahannya.

Dalam firman-Nya,

قَالَ رَبِّ اِنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا

Nabi Zakaria berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, kepalaku telah dipenuhi uban…” (QS. Maryam: 4)

Ada dua poin penting di sini:

  1. Memuji Allah dan Mengakui Kelemahan: Beliau memulai dengan memuji Allah, kemudian menyebutkan kelemahannya yang nyata. Ini adalah puncak kerendahan hati. Semakin kita merasa lemah dan fakir di hadapan Allah, semakin dekat kita dengan rahmat-Nya.
  2. Berdoa dengan Suara Lirih (Khafiyya): Surah Maryam ayat 3 menyebutkan,

اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ نِدَاۤءً خَفِيًّا

(yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lirih.

Ini menunjukkan tingkat kekhusyukan dan keintiman yang tinggi. Allah mendengar bisikan hati kita, bahkan suara selembut lirihan sekalipun. Adab ini adalah pintu mustajabnya doa.

Mencurahkan Kegelisahan dan Meminta Kebaikan Akhirat

Setelah memuji dan mengakui kelemahan, Nabi Zakaria tidak malu mengutarakan kegelisahan terdalamnya secara jujur.

Beliau khawatir tidak adanya penerus dakwah sepeninggalnya, terutama karena istrinya mandul. Beliau mencurahkan:

 وَاِنِّيْ خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَّرَاۤءِيْ وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا

Sesungguhnya aku khawatir terhadap keluargaku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul. Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu (QS. Maryam: 5).

Doa adalah wadah pengaduan yang paling tulus kepada Sang Pencipta.

Namun, permohonan beliau tidak berhenti pada permintaan anak saja.

Dia melanjutkan doanya dengan meminta yang terbaik:

يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

(Beliau meminta anak) yang akan mewarisi ilmu dan risalah, serta menjadikannya seorang yang diridai (QS. Maryam: 6).

Pelajaran emasnya: Curahkan semua isi hati Anda dengan jujur, tetapi selalu arahkan permintaan Anda pada kebaikan dan manfaat akhirat, bukan sekadar keinginan duniawi. Fokuslah memohon kesalehan dan keberkahan.

Keyakinan dan Kesabaran adalah Puncak Adab Berdoa

Adab berdoa tidak sempurna tanpa dua elemen krusial: keyakinan penuh dan kesabaran tanpa batas.

Nabi Zakaria berdoa dalam kondisi yang secara logika manusia, mustahil. Usia tua dan istri mandul adalah batasan yang tidak bisa ditembus oleh sains. Namun, beliau memiliki keyakinan mutlak bahwa Allah tidak tunduk pada kemungkinan manusia. Beliau tidak pernah putus asa, bahkan di ayat 4 disebutkan:

وَّلَمْ اَكُنْۢ بِدُعَاۤىِٕكَ رَبِّ شَقِيًّا ۝٤

 “dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku.” (QS. Maryam: 4).

Adab terakhir yang beliau ajarkan adalah kesabaran. Beliau menunggu jawaban Allah dengan teguh. Setelah melalui penantian dan ujian kesabaran, barulah malaikat datang membawa kabar gembira tentang kelahiran putranya, Yahya

يٰزَكَرِيَّآ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ ࣙاسْمُهٗ يَحْيٰىۙ لَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا ۝

(Allah berfirman,) “Wahai Zakaria, Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya yang nama itu tidak pernah Kami berikan sebelumnya.” (QS. Maryam: 7).

Setelah doa dikabulkan, adab beliau pun berlanjut pada rasa syukur yang total. Beliau segera menjalankan perintah Allah untuk berzikir selama tiga hari penuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat 11

فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا ۝

Lalu, (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu dia memberi isyarat kepada mereka agar bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang. (QS. Maryam: 11) sebagai bentuk ketaatan atas nikmat yang didapat.

Jika Nabi Zakaria, yang merupakan seorang Nabi, menunjukkan adab sebegitu indahnya, bagaimana dengan kita? Mari perbaiki kondisi hati dan cara kita meminta. Mulai sekarang, selalu awali doa dengan pujian, panjatkan dengan rendah hati, dan akhiri dengan keyakinan serta kesabaran. Yakinlah, Allah mendengar doamu, sekecil apapun bisikan itu.

Amanah di Era Digital: Menjaga Integritas di Tengah Kemudahan Teknologi

Di era serba cepat dan serba digital ini, kemudahan akses informasi sering kali membuat kita tergoda untuk mengambil jalan pintas. Menyalin tugas dari internet, mengambil tulisan orang tanpa mencantumkan sumber, atau memakai fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi—semua itu terlihat sepele, namun sebenarnya menjadi ujian besar bagi amanah dan integritas kita.

Teknologi memang seperti pisau bermata dua. Ia memudahkan proses belajar, bekerja, dan berkomunikasi. Namun, pada saat yang sama, teknologi juga membuka peluang besar bagi seseorang untuk mengabaikan nilai-nilai kejujuran tanpa ada yang mengetahuinya.

Amanah: Nilai Lama yang Tetap Relevan

Konsep amanah bukanlah hal baru. Ia merupakan nilai dasar dalam ajaran agama dan menjadi pondasi bagi perilaku manusia. Allah SWT berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا ۝٥٨

 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil…”(QS. An-Nisa: 58)

Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya amanah sebagai bagian dari iman:

لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad No. 12567)

Nilai amanah bukan hanya soal menjaga titipan atau mengembalikan barang. Ia juga mencakup kejujuran dalam hal-hal kecil sehari-hari: cara kita belajar, bekerja, berkomunikasi, bahkan bersikap di media sosial.

Integritas: Tetap Lurus Meski Tidak Ada yang Melihat

Di zaman digital ini, ujian amanah justru muncul dalam bentuk yang lebih halus. Misalnya:

  • Menggunakan AI untuk mengerjakan tugas tanpa belajar terlebih dahulu.
  • Mengedit laporan agar terlihat lebih sempurna dari kenyataan.
  • Mengambil materi dari internet tanpa menyebutkan sumber.

Tidak ada yang melihat, tetapi hati kita sendiri mengetahui apa yang kita lakukan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menggambarkan amanah sebagai tanda kedewasaan akal dan keimanan.

وَمِنْ كَمَالِ الدِّينِ وَعَقْلِ الْمَرْءِ حِفْظُهُ لِلْأَمَانَةِ، فَإِنَّ الْأَمَانَةَ أَصْلٌ مِنْ أُصُولِ الْأَخْلَاقِ، وَلَا يَسْتَقِيمُ سُلُوكُ الْعَبْدِ إِلَّا بِهَا

“Termasuk kesempurnaan agama dan akal seseorang adalah menjaga amanah. Sebab amanah merupakan salah satu pokok dari akhlak mulia, dan perjalanan seorang hamba menuju kebaikan tidak akan lurus tanpanya.” Ihya’ Ulumuddin, Kitab Riyādhah al-Nafs wa Tahdzīb al-Akhlaq, Juz 3.

Jika dulu amanah diuji lewat harta atau tanggung jawab sosial, kini amanah diuji lewat klik, login, dan unggahan. Di balik layar ponsel, sebenarnya tersimpan ujian hati yang lebih besar.

Memulai dari Hal-Hal Kecil

Menjadi pribadi yang amanah tidak perlu menunggu posisi besar atau tanggung jawab besar. Ia dimulai dari hal-hal sederhana:

  • Siswa yang tetap jujur meski nilainya tidak sempurna.
  • Guru yang menyiapkan materi sendiri meski butuh waktu lebih lama.
  • Pegawai yang bekerja dengan sungguh-sungguh meski tidak selalu dipantau.

Integritas dibangun sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menjadi karakter yang kuat. Karena ketika kepercayaan sudah hilang, memulihkannya sangatlah sulit.

Amanah bukan berarti tidak pernah salah, tetapi kemampuan untuk memperbaiki diri setiap kali tergoda untuk curang. Di situlah nilai sejati seseorang dinilai—bukan dari gelar, jabatan, atau pencapaian, melainkan dari kejujuran yang ia jaga.

Penutup: Amanah Bukan Slogan, Melainkan Gaya Hidup

Teknologi akan terus berkembang. Godaannya pun akan semakin besar. Namun nilai-nilai seperti amanah dan integritas tidak akan pernah ketinggalan zaman. Keduanya harus berjalan seiring: tanpa integritas, amanah bisa hilang; tanpa amanah, integritas hanyalah slogan.

Mulailah dari diri sendiri. Jadilah pelajar, guru, atau pegawai yang tetap menjaga kejujuran di tengah derasnya arus kemudahan teknologi. Karena di era digital ini, manusia bukan dinilai dari seberapa cepat ia menggulir layar, tetapi seberapa kuat ia menjaga hatinya agar tetap lurus.

Oleh: Habibul Mabrur Al-Jalali

Bahtsul Masail Al Fithrah: Bahas Feodalisme Pesantren dalam Rangka Milad ke-39

Surabaya – Majlis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) bersama pengurus Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya sukses menggelar Bahtsul Masail Se-Gerbang Kertosusila dalam rangka Milad ke-39 Ponpes Assalafi Al Fithrah.
Kegiatan ilmiah ini berlangsung selama dua hari, 25–26 Agustus 2025, di Gedung Timur lantai 5 Ponpes Al Fithrah, Surabaya.

Acara pembukaan dimulai dengan tawassul dan istighatsah oleh Ust. Khoiruddin, dilanjutkan dengan sholawat Fi Hubbi oleh Ust. Ahmad Syatori serta doa Fi Hubbi yang dipimpin oleh Ust. Fathur Razi.
Dalam sambutannya, Kepala Pondok Ust. Nashiruddin menyampaikan bahwa Bahtsul Masail ini diharapkan menjadi wasilah keberkahan bagi kemajuan pondok.

“Semoga dengan mujalasah dalam rangka tasyakuran Milad Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ke-39 ini, bisa menjadikan Pondok lebih berkah, berkembang, dan maju,” ungkap beliau.

Beliau juga menuturkan sejarah singkat berdirinya Al Fithrah yang dimulai pada bulan Maulid tahun 1997, bersamaan dengan lahirnya berbagai kegiatan ilmiah dan sosial yang menjadi ciri khas pesantren ini.


Merawat Tradisi, Membangun Generasi Santri Berilmu dan Berakhlak

Mengusung tema “Merawat Tradisi, Membangun Generasi”, acara ini menjadi momentum penting bagi para santri untuk memperdalam keilmuan turats sekaligus menjawab tantangan zaman.
Ust. Nashiruddin menegaskan bahwa santri Al Fithrah diharapkan tak hanya memahami kitab kuning, tetapi juga mampu menjadi muhaqqiq (peneliti) dalam menghadapi problematika modern tanpa meninggalkan nilai-nilai amaliah pesantren.

Bahtsul Masail kali ini diikuti oleh 20 pondok pesantren dari berbagai daerah seperti Lirboyo, Al Falah Ploso, Sidogiri, dan Al Fatich Osowilangun, serta beberapa perwakilan dari MWC NU Bubutan Surabaya.
Para mushohih yang hadir antara lain KH. Asyar Shofwan, KH. Dr. Musyaffa’, K. Soelaiman, KH. Ma’ruf Khozin, dan K. Abu Sari, dengan moderator Ust. Abdullah dan Ust. M. Nurush Shobah.


Feodalisme Pesantren: Antara Ta’dhim dan Pendidikan Akhlak

Topik pertama yang dibahas pada Jalsah malam hari adalah “Feodalisme Pesantren”, yang diangkat oleh Ponpes Lirboyo Induk.
Dalam forum yang berlangsung hingga pukul 23.30 WIB itu, para peserta sepakat bahwa sikap ta’dhim santri kepada kiai bukanlah bentuk pengkultusan, melainkan bagian dari pendidikan akhlak dan tarbiyah sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, sahabat, dan para ulama salaf.
Artinya, tradisi penghormatan kepada guru tetap membuka ruang dialog dan tabayyun selama dijaga dengan adab yang baik.

Pada hari kedua, 26 Agustus 2025, topik dilanjutkan dengan pembahasan “Meminta Amal dengan Mengatasnamakan Lembaga Lain” yang merupakan kontribusi soal dari Al Fithrah. Hasil musyawarah menyimpulkan bahwa tindakan tersebut haram karena mengandung unsur penipuan (gharar), namun amal pemberi tetap sah selama niatnya tulus.

Acara ditutup dengan pembacaan hasil keputusan dan doa oleh KH. Ma’ruf Khozin, Ketua Fatwa MUI Jawa Timur, yang menegaskan:

“Pondok Pesantren Al Fithrah yang dikenal dari sisi tasawuf dan spiritualnya, ternyata juga memiliki kedalaman dalam kajian fikihnya.”

Untuk hasil keputusan bahtsul masail nya bisa dilihat di sini.

Belajar Kepada Sahabat Yang ‘Munafik’

Tampil sempurna di hadapan banyak orang adalah keinginan semua orang. Masing-masing kita ingin terlihat tanpa kekurangan. Perilaku, penampilan hingga ucapan. Dalam praktiknya, tidak jarang ada orang yang berkebalikan. Antar luarnya berbeda dengan apa yang hatinya simpan. “Bermuka dia” atau munafik orang-orang menyebutnya.

Pemberian warning munafik sangat keras sekali Alquran menyebutnya. Di sana dikatakan bahwa kelak orang munafik berada di jurang terdalam neraka. Al-Qur’an menegaskannya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat penolongpun bagi mereka” (QS. An-Nisa; 42).

Ancaman bagi orang munafik sedemikian dahsyatnya. Maka menjadi wajib bagi kita untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri munafik itu sebenarnya. Tujuan mengetahui ciri-ciri munafik tidak lain agar kita mampu menjauhinya. Rasulullah SAW dengan jelas menyebutkan ciri-ciri munafik dalam sabdanya:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; pertama, jika berbicara ia berbdusta, jika berjanji ia mengingkarinya, dan jika dipercaya ia mengkhianatinya”. (HR Bukhari)

Sahabat Yang ‘Munafik’

Setelah tahu munafik itu apa. Maka menjadi mudah bagi kita untuk mengidentifikasi diri, apakah ada sifat munafik pada diri kita. Dalam ayat yang lain, disebutkan sifat orang munafik berikut:

 اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ

“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud tujuan ria atau (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali,” (QS. An-Nisa: 142).

Munafik adalah sifat yang tersembunyi. Kita tidak boleh menghakimi sifat munafik pada diri orang lain. Bahkan, kedekatan seseorang kepada Allah tidak serta merta membuatnya bebas dari sifat munafik ini.

Ketika mendengar ayat-ayat tentang munafik, para sahabat Nabi tidak main tuduh kepada orang lain, mereka mengintrospeksi diri masing-masing. Mereka takut dan khawatir, jangan-jangan munafik yang disebut dalam ayat itu adalah mereka sendiri.

Ibnu Abu Malikah, dari kalangan tabiin berkata:

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku telah mendapati 30 orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya khawatir pada dirinya terdapat tanda-tanda kemunafikan.” (HR. Bukhari No. 36)

Sebagian dari mereka berdoa,

اَللهُمَّ اِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ خُشُوْعِ النِّفَاقِ

“Wahai Allah jauhkanlah aku dari khusyuk munafik.” Para sahabat bertanya, “Apa maksudmu?” “Yaitu kekhusyukan palsu: hanya fisik, bukan hati.”

Agar Jauh Dari Munafik

Selain doa agar jari dari munafik di atas, ada resep yang bisa kita ambil dari kisah Sahabat Handzolah. Beliau termasuk di antara sekretaris Rasulullah SAW. Suatu Ketika berjumpa dengan Sahabat Abu Bakar dan menyatakan kegelisahannya.

عَنْ حَنْظَلَةَ الأُسَيِّدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَقِينِي أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ؟ قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ. قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ! مَا تَقُولُ؟ قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ، حَتَّى كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ، فَنَسِينَا كَثِيرًا.

“Sungguh telah munafik Handzolah, ya Abu Bakar” ucap Sahabat Handzolah.

“Subhanallah, apa yang kau katakana wahai Handzolah?” tanya Sahabat Abu Bakar.

“Ketika saya berada di majelis Rasulullah SAW dan beliau berbicara tentang surga dan neraka,  seakan-akan terlihat oleh mata kepala saya. Namun, begitu saya keluar dari majelisnya Rasulullah SAW dan disibukkan dengan istri, anak dan keperluan hidup lainnya, saya menjadi lalai dan lupa segalanya.‘

Maka Abu Bakar pun berkata: “Demi Allah, Aku pun merasakan hal yang sama”.

Maka beliau berdua pun sowan kepada Rasulullah SAW.

“Sungguh telah munafik Handzolah, Ya Rasulullah” kata Sahabat Handzolah mengadukan permasalahannya. Rasulullah SAW, selaku ‘mursyidul a’dzom’ pun memberikan wejangannya:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمْ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً

“Demi Allah yang menguasai diriku, apabila kalian senantiasa melanggengkan diri seperti saat kalian berada di sisiku, dan ketika berzikir, niscaya para malaikat akan mensalami tangan kalian, dan membersamai dalam semua langkah hidup kalian. Akan tetapi wahai Handzolah, pelan-pelan” (HR. Muslim No. 2750)

Kisah ‘munafik’ Sahabat Handzolah ini memberikan pelajaran untuk istikomah dalam menghadiri majlisnya Rasulullah SAW. Dalam hal ini adalah majlis dzikir maupun majlis ilmu yang di dalamnya disampaikan tentang kebaikan, sehingga akan termotivasi untuk melakukan kebaikan tersebut.

Kalau pun tidak mampu senantiasa berada dalam majlis kebaikan, maka usahakanlah untuk menghidupkan dzikir kepada Allah SWT. Semampunya. Allah knows the best.