Kajian

MUTIH

Setiap bulan Ramadan tiba, para murid -terutama yang telah mengikuti bai’at tarekat al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah al-Utsmaniyyah  dimana Kiai Asrori adalah mursyidnya-, dianjurkan [baca: didawuhi] untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang berasal dari makhluk yang bernyawa, atau yang salah satu campuran bahan pembuatannya terdapat unsur hewani. Ritual ini disebut dengan mutih atau tarak  dalam bahasa Jawa.

Bagi jamaah laki-laki, mutih dilakukan mulai memasuki tanggal 21 Sya’ban. Sedangkan jamaah perempuan memulai mutihnya pada tanggal 1 Ramadan. Ritual mutih dilakukan sampai bulan Ramadan selesai, kecuali malam Jum’at pada bulan Ramadan. Artinya, setiap malam Jum’at bulan Ramadan, mereka libur melakukan ritual mutih. Sebab, hari Jum’at -yang dimulai sejak terbenamnya matahari pada hari Kamis- adalah hari raya mingguan bagi umat Islam.

Nisbatnya sebuah hari raya, mereka tak mempunyai pantangan apapun mengenai makanan apa yang tidak boleh dikonsumsi. Namun pada malam (Jum’at) itu, para murid melakukan ritual yang lain, yaitu membaca tiga macam shalawat yang telah ditentukan masing-masing dibaca sebanyak 1000 kali.

Tujuan utama mutih adalah untuk Riyadhoh, Mujahadah, Taqliluth Thoam (menyedikitkan makan) agar hawa nafsu bisa dikendalikan, semangat beribadah (Jawa: rikat) dan dibersihkan dari pengaruh-pengaruh makanan syubhat dan haram. Oleh karenanya, perintah Mutih dari guru Mursyid kepada murid lebih pada sisi menghasilkan kesempurnaan bagi murid. Jika dirasa bermanfaat kemudian ia meninggalkan, maka ia termasuk melakukan adab yang buruk (su’ul adab).

Ritual ‘mutih’ telah dilakukan sejak dulu oleh para tokoh sufi dari berbagai macam aliran tarekat. Menurut sebagian Sufi -seperti yang dikutip oleh Syaikh Abdul Wahhab al-Syaraniy RA dalam kitab beliau al-Anwar al-Qudsiyyah-, rukun atau tiang penyangga pelaku tarekat itu ada empat, yaitu: menahan rasa lapar, tidak banyak bergaul jika tidak ada manfaatnya (al ‘uzlah ), bangun malam, dan tidak berbicara jika tidak bermanfaat.

Kunci pokok dari ke-empat hal ini adalah rasa lapar. Artinya jika seorang murid sudah terbiasa lapar, maka tiga hal sisanya niscaya akan mengikutinya secara otomatis. Sebab, secara tabiat, seorang yang lapar akan cenderung mengirit energinya dengan sedikit bicara, badannya menjadi mudah atau ringan untuk bangun malam, serta mempunyai kecenderungan untuk menghindari pergaulan yang tidak bermanfaat.  

Manfaat dari terbiasa menahan lapar adalah seorang murid tidak akan mudah tergoda oleh hawa nafsunya sendiri juga tidak mudah digoda oleh setan. Sehingga, hatinya akan menjadi bersih. Rasulullah Saw. pernah bersabda yang artinya: “Sesungguhnya setan mengalir pada diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah. Maka, sempitkanlah semua jalan setan dengan (cara) lapar.” [HR. Ibnu Abi Dunya].

Syaikh Abdul Wahab al-Sya’raniy ra dalam karya beliau yang lain, yaitu al-Mizan al-Kubra menyebutkan beberapa syarat yang hendaknya dilakukan oleh penempuh jalan tarekat [baca; salik]. Satu di antara dari beberapa syarat tersebut adalah tidak mengonsumsi makanan yang mempunyai ruh/nyawa yang dalam tarekat kita dikenal dengan istilah mutih ini.

Dengan melakukan ritual mutih ini, seorang murid akan mudah dalam mengontrol serta mengekang hawa nafsunya. Sebab, awal timbulnya semua maksiat adalah nafsu dan kekuatan (diri). Sedangkan esensi atau sumber energi dari nafsu serta kekuatan itu sendiri adalah makanan. Maka, dengan menyedikitkan makan (melalui mutih), otomatis akan bisa melemahkan nafsu dan syahwat.

Sebenarnya, dalam kitab tersebut Asy Sya’rani ra. tidak menyebutkan bahwa aktivitas mutih hanya tertentu dan khusus dilakukan pada bulan Ramadan saja. Artinya, seorang murid tarekat idealnya dituntut untuk melakukan aktivitas mutih ini sepanjang tahun dan bahkan sepanjang hayatnya. Hanya saja, karena faktor kewelasan serta kemurah hati-an dari guru kita Syaikh Achmad Asrori al Ishaqy RA dan karena beberapa faktor lain [baca: sirri-rahasia] yang hanya diketahui oleh beliau, mutih bagi murid tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah ini -seperti yang pernah Beliau dawuhkan– hanya perlu dilakukan pada tiap bulan Ramadan saja. Itupun masih dikurangi dengan ‘libur’ mutih setiap malam Jum’at.

Wal hasil, secara global, ritual mutih ini bisa dibilang adalah nilai plus dari puasanya seorang murid tarekat. Artinya, dengan  dilakukannya ritual mutih ini, akan ada perbedaan antara puasanya seorang murid tarekat dengan puasanya seorang yang bukan murid tarekat. Kalau yang non tarekat syahwat makannya dikekang pada siang hari bulan Ramadan dan lalu ‘dilepas’ lagi pada malam harinya, seorang murid tarekat tidak begitu. Akan tetapi, syahwat makan seorang murid tarekat tetap dikontrol serta dibatasi, meskipun pada malam hari.

Mumpung momennya pun juga pas: Ramadan!. Jadi, hanya satu bulan dalam setahun, jika dibandingkan dengan tidak mutih nya yang sudah dijalani selama 11 bulan, mengapa tidak bersungguh-sungguh?  Wa Allahu a’lam.                 

Sumber: (1) Rubrik Ribath Buletin Al Fithrah edisi 56, (2) Maklumat PP. Ath Thoriqoh Al Qodiriyyah wan Naqsabandiyah Al Oesmaniyyah

HUKUM MENYEMIR RAMBUT

Masa muda adalah masa yang penuh dengan gejolak darah muda dan umumnya ingin tampil gaya. Ekspresi-ekspresi aneh atas nama gaya dan mode pun, akhirnya kerap didemonstrasikan oleh para remaja kita, meski terkadang palsu atau sekedar latah dan bukan dari jati dirinya yang sesungguhnya.

Salah satu trend muda-mudi dewasa ini adalah menyemir rambut dengan aneka warna, seperti merah, kuning, hijau, biru, dan lain-lain. Mereka yang sedikit tahu hukum, mengklaim bahwa menyemir rambut memakai warna kuning dan sebagainya, asalkan bukan warna hitam adalah satu bentuk kesunnahan. Benarkah ?.

Dalam perspektif hukum Islam, karakter hukum yang dibentuk atas dasar kultur, tradisi, dan sosial budaya adalah bersifat dinamis dengan mengikuti denyut nadi perkembangan zaman. Dalam bahasa kaidah Fiqih disebutkan: “Al Hukmu Yaduru ma’al ‘illati wujudan wa ‘adaman”. Bahwa hukum itu selalu mengalami perputaran atau dinamika sesuai ‘illat atau alasan yang menjadi muara munculnya hukum itu sendiri. Lain halnya dengan hukum-hukum yang dibangun bukan atas dasar aspek di atas, maka bersifat statis sebagaimana hukum cambuk bagi pelaku zina.

Terdapat beberapa data riwayat hadits yang menginformasikan masalah semir, di antaranya sebuah hadits:

 “Nabi SAW didatangi Sahabat Abi Quhafah pada waktu kemengan kota Makkah, dalam keadaan kepala dan dagunya seperti tumbuhan yang berwarna putih. Kemudian Nabi SAW bersabda: “Ubahlah uban kalian dengan sesuatu (semir) dan jauhilah warna hitam”. (HR. Imam Muslim).

Dari hadits ini, Imam Nawawi RA mengatakan, menyemir uban baik bagi laki-laki maupun perempuan hukumnya sunnah. Sedangkan dengan warna hitam hukumnya haram[1].

Dalam hadits lain disebutkan:

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambutnya, maka tampil bedalah dengan mereka”. (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim).

Dari hadits-hadits di atas, ulama’ mensinyalir bahwa ‘illat dari kesunnahan menyemir rambut dengan warna selain hitam adalah demi menampakkan perbedaan dengan tradisi non Muslim yang sangat dianjurkan[2]. Sebab, meniru atau menyamai gaya serta tradisi mereka berarti termasuk dalam golongannya, sebagaimana sabda Nabi SAW:

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagiannya”. (HR. Imam Abu Daud).

Tasyabbuh (menyerupai orang lain) adalah sebuah konsep yang mengacu pada sebuah relativitas ruang dan waktu. Tradisi dan corak budaya di sana saat itu, tidak bisa dijadikan sebagai acuan di sini saat ini. Walau demikian, dalam kerangka hukum adalah hal yang wajar bila antara satu ulama dengan yang lainnya punya sudut pandang yang berbeda dalam menilai suatu kasus.

Berkenaan dengan masalah semir ini, Sulthonul Ulama’ Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam dan ulama yang sependapat mengatakan, kesunnahan tidak boleh ditinggalkan meskipun sudah menjadi trend orang-orang fasiq. Sedangkan Imam Al Ghazali RA memilah-milah antara kesunnahan yang independen berdiri sendiri dengan kesunnahan yang ikut [baca: satu paket] terhadap ibadah yang lain. Oleh karena itu, doa qunut seandainya saja menjadi syiar atau trend ahli bid’ah dan orang-orang fasiq, tetap sunnah dilakukan karena doa qunut merupakan kesunnahan yang satu paket dengan ibadah lain [baca: shalat]. Sedangkan kesunnahan yang berdiri sendiri, misalnya menyemir uban dengan warna merah atau kuning, jika sudah menjadi syiar dan trend bagi orang-orang fasiq, maka kesunnahannya yang dilatar belakangi karena khawatir akan menyerupai mereka tadi, menjadi hilang[3].

Jadi, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa menyemir uban dengan warna selain hitam, ada yang mengatakan tetap sunnah meskipun sudah menjadi trend ahli bid’ah dan orang-orang fasiq. Sedang ulama lain mengatakan, jika sudah menjadi trend mereka, maka tidak disunnahkan lagi.

Bagaimana dengan menyemir rambut yang tidak beruban ?. Jika dengan selain warna hitam, para ulama sepakat memperbolehkannya. Sedangkan bila dengan warna hitam, terjadi beda pendapat. Dari Syafi’iyah mengatakan haram. Mayoritas ulama’ dari madzhab lain ada yang mengatakan makruh, dan sebagian ulama yang lain ada yang memperbolehkan.

Atas dasar uraian di atas, menyikapi trend kawula muda yang mewarnai rambutnya dengan corak ragam warna, dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kesunnahan menyemir rambut dengan selain warna hitam adalah jika rambut itu sudah beruban. Jika tidak beruban, maka tidak sampai pada derajat sunnah, melainkan hanya mubah (boleh).
  2. Menurut Imam Ghazali, kesunnahan di atas jika tidak menjadi trend ahli bid’ah dan orang-orang fasiq. Bila demikian, maka tidak dsunnahkan lagi.
  3. Kebolehan menyemir rambut yang tidak beruban dengan warna selain hitam ini dengan cvatatan: tidak ada dorongan / motifasi negatif. Jika disertai dengan tujuan yang dilarang agama seperti sombong, pamer, dan bangga-banggaan, maka hukumnya menjadi haram[4].

Kesimpulan yang paling akhir, jika menyemir rambut yang tidak berubaan dengan warna selain hitam hukum asalnya adalah boleh, maka akan menjadi haram jika menyemir rambut tersebut sudah menjadi trend di kalangan ahli bid’ah dan orang-orang fasiq, atau ada tujuan yang tidak dibenarkan oleh syara’, seperti sombong, pamer dan semisalnya. Ketika hukumnya haram, maka keharamanya akan bertambah ditinjau dari segi tabdzirul mal (menghambur-hamburkan harta) yang tentu sudah dilarang agama. Allah SWT berfirman:

 “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isro’: 26-27).

Wallahu a’lam bish showab.

Penulis: Ust. Abu Sari, M.Th.I


[1] Syarhun Nawawi Ala Muslim: 7/204.

[2] Tuhfatul Ahwadzi: 5/354 dan Aunul Ma’bud: 9/249.

[3] Ihya’ Ulumiddin: 2/110, Fatawi Izzuddin: 45, Al-Bahrul Muhith: 1/356.

[4] Al-Fiqhul Islami: 4/227 dan Al-Mausu’h Al-Fiqhiyah: 2/281.