Senin, tanggal 31 Oktober, Pondok Pesantren Assalafi Al FIthrah Surabaya mendapat kunjungan rombongan Pondok Pesantren Baitul Hikmah Tasikmalaya. Kunjungan ini merupakan bagian rangkaian Rihlah Ziyaroh Wali Songo dan Muhibbah Pesantren Jawa – Madura – Bali.
Rombongan terdiri dari 7 dewan Kiai, 343 santri putra, dan 157 santri putri. Penyambutan dan penerimaan rombongan dari ujung barat pulau Jawa ini dilaksanakan di masjid. Acara penyambutan sendiri dimulai dengan mengikuti tradisi yang sudah dituntunkan oleh Hadrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, yakni dengan pembacaan tawasul dan istighotsah.
Acara dilanjutkan dengan sambutan perwakilan dari tamu. Dalam sambutannya, ia menyampaikan terimakasih atas keramahan yang diberikan oleh warga Al Fithrah. Ia juga sedikit menceritakan tentang pondok Baitul Hikmah, dan rihlah yang sedang mereka lakukan. Rihlah ini merupakan acara berkelanjutan, yang insyaAllah di bulan-bulan mendatang, akan datang lagi rombongan dari pondok didirikan pada tanggal 18 Agustus 1964 oleh KH Saepudin Zuhri.
Kunjungan dari PP. Baitul Hikmah Tasikmalaya-1
Dari pondok Al Fithrah, Ust. H. Abdur Rosyid menjadi wakil untuk membalas sambutan tamu. Ia juga menceritakan secara singkat tentang pondok Al Fithrah dan Kiai Asrori. Dalam sambutannya ia juga menerima dengan terbuka kunjungan yang akan datang dari pondok Baitul Hikmah.
Penyerahan cindera mata menjadi tanda menjelang usainya acara ini. Dan, acara ini ditutup dengan pembacaan do’a oleh Ust. Syatori.
Tahun 2013, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah Surabaya untuk pertama kali mengadakan wisuda sarjana. Jurusan Tafsir-Hadits dan Tasawuf adalah dua jurusan pertama yang menyumbang nama-nama lulusan STAI Al Fithrah.
Kampus yang semula bernama Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin ini mulanya memang hanya satu fakultas dengan dua jurusan. Pada tahun ke-3 barulah ada jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Menyusul kemudian ada jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dan Perbankan Syari’ah (PS).
Tahun ini, generasi sarjana ke-11 diwisuda dari kampus ini. Setelah melewati masa pandemi yang mengakibatkan wisuda sempat dilaksanakan secara onlinen, tahun ini wisuda Kembali digelar secara offline.
Wisuda Sarjana XI STAI Al Fithrah
Dilaksanakan di auditorium lantai 4 gedung STAI Al Fithrah, 106 mahasiswa dari lima jurusan melangsungkan prosesi wisuda. Jurusan Manajemen Pendidikan Islam menjadi penyumbang terbanyak nama mahasiswa yang diwisuda tahun ini, tercatat 51 mahasiswa. Disusul Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 24 mahasiswa dan Perbankan Syari’ah sebanyak 19 mahasiswa.
Sementara dari jurusan Tasawuf yang kini berubah menjadi Akhlak dan Tasawuf ada 13 mahasiswa yang diwisuda. Paling buncit jurusan Ilmu Al Qur’an dan Tafsir – yang semula jurusan Tafsir-Hadits, meluluskan 9 mahasiswa.
Wisuda Sarjana XI STAI Al Fithrah
Dr. Abdur Rosyid, selaku ketua STAI Al Fithrah dalam kesempatan itu berpesan agar para mahasiswa yang akan diwisuda tetap mengedepankan akhlak ketika sudah membaur dengan masyarakat. Ia menyampaikan bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan tetap menjaga nilai dan sikap luhur para pendahulu. Apapun profesi yang kelak akan ditempuh.
Apa yang ia sampaikan senada dengan yang tertuang dalam al-malhudzat, yang ditulis oleh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, yang merupakan penggagas berdirinya STAI Al Fithrah. Kampus yang dulunya berada di area Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, sebelum kini memiliki gedung sendiri.
Hadir juga dalam wisuda ke-11 ini, Wakil Koordinator Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (Kopertais) 4 Surabaya, KH. Ilhamuddin Sumarkan. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan bahwa menuntut ilmu itu merupakan perintah agama. Ia juga menekankan bahwa kelak ketika mereka sudah bekerja, hendaknya mereka yakin itu bukan bagian dari dunia melainkan bagian dari agama.
Wisuda Sarjana XI STAI Al Fithrah
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua I Bidang Akademik H Abd Azis menyampaikan lulusan terbaik di hadapan para pimpinan, dosen, wisudawan, orang tua wisudawan dan tamu undangan . Utami Novita Lestari dari prodi PGMI dengan IPK 3.66 meraih gelar wisudawan terbaik. Selisih 0,06, Muhammad Nur Ridho Waliden dari manajemen pendidikan Islam dengan IPK 3.6. Sementara dari prodi Akhlak dan Tasawuf Navida Zulfa Safitri dengan IPK 3.53, dari Perbankan Syari’ah Ahlul Maghfiroh dengan IPK 3.52, dan Nurul Ismiyah dari prodi ilmu tafsir dengan IPK 3.51.
22 Oktober 2022, upacara hari santri kembali digelar secara terbuka di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Setelah dua tahun acara diselenggarakan secara terbatas, acara hari santri tahun menjadi spesial karena pada tanggal yang sama putri pertama KH. Achmad Asrori, Nyai Siera en-Nadia berulang tahun.
Agak berbeda dengan upacara hari santri sebelumnya. Tahun ini, tidak ada acara pengibaran bendera. Hanya saja, ada pembentangan bendera dengan panjang lebih dari 100 meter.
Upacara Hari Santri Nasional Th. 2022
Acara ini diikuti oleh seluruh santri Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, baik yang mukim ataupun yang tidak. Mulai dari jenjang Raudlatul Athfal hingga Ma’had Aly, berbaris sesuai dengan waktu geladi bersih.
H. Wisnu dari Yayasan Al-Khidmah Indonesia (YAKIN) Kembali ditunjuk untuk menjadi Pembina upacara, setelah upacara 17 Agustus lalu, ia juga melaksanakan tugas yang sama. Dalam kesempatan itu ia membacakan teks Sambutan Menteri Agama Republik Indonesia pada upacara Peringatan Hari Santri 2022.
“Dulu, ketika Indonesia masih dijajah, para santri turun ke medan laga, berperang melawan penjajah. Menggunakan senjata bambu runcing yang terlebih dahulu didoakan Kiai Subchi Parakan Temanggung, mereka tidak gentar melawan musuh.” Teks ini sesuai dengan sejarah perjuangan awal mula agama islam. Dan tentu ini sesuai dengan kondisi santri ketika masih di pesantren.
Selama di pesantren, santri berperang melawan nafsu yang senantiasa ingin menguasai dirinya. Berbekal niat, tekat dan tentu do’a para Kiai, santri berusaha mengisi hari-harinya dengan beribadah dan menuntut ilmu. Harapannya? Apalagi kalau bukan untuk merdeka dari penjajahan nafsu.
Upacara Hari Santri Nasional Th. 2022
“Pascakemerdekaan Indonesia, santri lebih semangat lagi memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Mereka tidak asyik dengan dirinya sendiri, tetapi terlibat secara aktif di dunia perpolitikan, pendidikan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan, selain juga agama.” Ini adalah tantangan selanjutnya, selepas santri menyelesaikan masa belajarnya di pesantren.
Ya, predikat santri tak lantas menguap setelah seorang santri menyelesaikan masa belajarnya di pesantren. Dan selepas dari pesantren bukan berarti masa belajar seorang santri berarti berakhir. Sekali lagi bukan seperti itu.
Setelah selesai dengan dirinya sendiri tentu santri punya tugas mulia, yaitu menyebarkan hal-hal baik yang ia ketahui di masyarakat di manapun ia tinggal. Lebih dari itu, faktanya, sejak sebelum Indonesia merdeka hingga hari ini, banyak nama orang yang terlibat dalam perkembangan di negeri ini adalah santri.
Upacara Hari Santri Nasional Th. 2022
Tanpa menafikan, mereka yang bukan santri. Santri-santri hari ini harus tahu betul bahwa ada titipan dari para santri pendahulu untuk ikut serta aktif dalam menjaga keberlangsungan Negara Indonesia sesuai bidang dan kemampuan yang dimiliki.
Meski demikian, tentu santri tak boleh lupa dengan tugas utamanya, yaitu menjaga agama itu sendiri. Dengan wujud mengedepankan nilai-nilai agama dalam setiap perilakunya. Dan, diantara satu tujuan agama diturunkan di bumi ini adalah menjaga martabat kemanusiaan atau hifdzunnas.
Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, santri juga punya peran dalam menjaga martabat kemanusiaan, yang menjadi tema besar dalam hari santri tahun 2022. Santri harus berprinsip bahwa menjaga martabat kemanusiaan adalah esensi ajaran agama. Apalagi, di tengah kehidupan Indonesia yang sangat majemuk. Bagi santri, menjaga martabat kemanusiaan juga berarti menjaga Indonesia.
Setiap bulan Rabi’ul Awal tiba, ada yang berbeda di masjid ponpes Assalafi Al FIthrah, Surabaya. Dinding bagian depan dan empat pilar masjid dihias sedemikian rupa, wujud bahagia atas datangnya hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Di bulan maulid, ada tiga agenda rutin yang dilaksanakan tiap tahunnya. Ahad Awal bulan hijriyah, peringatan Maulid Nabi Saw di tanggal 12 Rabi’ul Awal, dan puncaknya Ahad ke-2.
Setelah dua kali bulan Rabi’ul Awal acara ini terselenggara secara tertutup, tahun ini acara ini dibuka kembali secara umum. Ribuan jama’ah memadati halaman dan gedung ponpes Al Fithrah. Kerinduan mereka untuk ikut majlis ini terobati sudah.
Tenda yang disediakan panitia, yang hanya menyisakan tak lebih seperempat halaman pondok, terisi penuh. Hingga pembacaan Ya Nabi Salam ‘Alaika banyak jama’ah masih bertahan di panas matahari. Apalagi yang membuat mereka bertahan untuk tidak beranjak dari lokasi yang mulai panas, kalau bukan harapan, sebagaimana yang disampaikan habib Segaf Baharun.
Dalam tausiahnya beliau menyampaikan, bahwa makna uswatun hasanah dalam al-Qur’an itu bukan hanya Nabi Muhammad Saw sebagai tauladan. Lebih dari itu Nabi Saw adalah barometer. Dengan kata lain, jika kita ingin mendapat kebaikan-kebaikan yang diterima oleh Nabi Saw, maka perlu kita tanyakan kepada diri kita berapa persen kita meniru Nabi Saw.
Beliau mengutip hadits Nabi Saw, yang menjelaskan kesenangan di dunia ini tidak ada. Sehingga menurut beliau, hidup di dunia ini hanya ada dua macam; hidup di dunia ini tidak enak dan nyaman menjalaninya, dan hidup di dunia ini tidak enak dan tidak nyaman menjalaninya.
Suasana di halaman ponpes Al Fithrah saat ahad ke-2
Jika kita ingin hidup di dunia yang tidak enak ini, nyaman dalam menjalani hidup maka ikuti Nabi Saw. Jika tidak, maka kiata hanya akan menjalani hidup yang tidak ini, dan tidak nyaman menjalaninya. Harapan bahwa dengan meniru Nabi Muhammad Saw, kelak kita akan berada di satu tempat dan bertemu dengan beliau.
Harapan inilah yang barangkali membuat jama’ah tetap bertahan hingga rangkaian majlis ini selesai, walaupun suhu di hari itu terus naik seiring siang datang. Taudiyah yang tidak lebih dari lima puluh menit ini diakhiri oleh Habib Segaff dengan pengijazahan Shalawat Busyro.
Para Habib, Kiai, dan jama’ah saat mahallul qiyam
Lazimnya Majlis Dzikir yang diadakan oleh Jama’ah Al Khidmah dan ponpes Al Fithrah, durasi mauidhoh biasanya lebih pendek dari rangkaian majlis. Seperti itu pula Majlis Ahad ke-2 bulan Rabi’ul Awal, setelah mauidhoh yang disampaikan oleh Habib Segaf Baharun, acara dilanjutkan dengan pembacaan fihubbi.
Sebelum fihubbi dibacakan, panitia mengajak para jama’ah mengumpulkan khidmah untuk Haul Akbar Al Fithrah 2023. Setelah rangkaian pembacaan fihubbi dan dipungkasi dengan do’a oleh putra Hadrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, KH. Muhammad Ayn el-Ishaqy, acara dilanjutkan dengan pengumuman.
Pembacaan kasidah Qabul oleh Habib Umar Assegaf dari Pasuruan, dan do’a bihaqqil Fatihah oleh KH. Abdullah Faqih dari Lamongan, menandari acara ini menjelang usai. Dan, seperti yang sudah ada sejak zaman Kiai Asrori masih bersama-sama dengan kita, majlis ini ditutup dengan lemparan buah oleh para Habib dan Kiai, lalu makan talaman bersama.
Kegembiraan tibanya maulid Nabi Saw, tidak hanya berhenti di ahad ke-2. MI dan RA Al Fithrah, juga ikut mengadakan acara tersendiri, menyambut hari kelahiran Nabi Saw. Bahkan, di MI juga diadakan lomba-lomba dalam mengisi rangkaian kegembiraan datangnya hari kelahiran Nabi.
Semua tadi tentu dengan harapan kelak di akhirat, kita semua akan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad Saw.
Majelis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) adalah organisasi yang didirikan untuk menaungi kegiatan musyawarah di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Baik musyawarah sughra di kelas, maupun musyawarah kubro yang diselenggarakan di area masjid Al Fithrah.
Salah satu agenda penting MKPI ini adalah kajian Kitab al-Muntakhobat fi Rabithah al-Qalbiyyah wa Silati al-Ruhiyah yang merupakan masterpiece dari Hadlratusy Syaikh Romo KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy ra. Kajian yang tahun kemarin masih terselenggara secara online, Rabu malam ini dilaksanakan secara hybrid (online dan offline). Acara offline bertempat di Gedung PW lantai dua Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Sementara yang online dapat diikuti via zoom meeting dan siaran di channel YouTube alwava media.
Pembukaan acara
Dengan tetap menjaga tradisi lama yang baik, maka sebagaimana kegiatan-kegiatan di Al Fithrah pada umumnya, Kajian Al-Muntakhobat kali ini dimulai dengan pembacaan Tawasul, Istighosah dan Maulid fi Hubby. Sesi Pembukaan ini dipimpin oleh Ust. Ahmad Mahbub, M.Ag dan Ust. Nur Yasin, M.Pd.
Pandangan Umum sebelum memasuki acara inti disampaikan oleh Ust. Nasiruddin, M.Pd. Sebagai Kepala Bagian Pendidikan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, beliau berharap agar Kajian al-Muntakhobat ini dapat memotivasi para santri untuk kembali mengkaji kitab kuning (turats), terutama mempelajari kembali kitabnya Hadlratusy Syaikh Romo KH. Ahmad Asrori al-Ishaqy. Terlebih, bab yang dikaji malam itu adalah tentang “Rasulullah Saw Sebagai Panutan”. Harapan besarnya disampaikan beliau, dapat memupuk kecintaan kepada Rasulullah Saw.
Dr. Kusroni, M.Th.I sebagai narasumber dalam kajian ini mengingatkan kita kembali bahwa adanya Kitab Al-Muntakhobat ini ditulis oleh Hadlratusy Syaikh dipersembahkan dan diprioritaskan kepada para santri, alumni Al Fithrah, dan juga Jama’ah Al Khidmah. Maka menjadi penting, bagi para santri di lingkungan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah untuk mengkaji kitab ini. Pun juga, bagi para alumni dan juga Jama’ah Al Khidmah agar sepeninggal beliau, pemikiran-pemikiran beliau tetap lestari, selain amaliah tuntunan beliau yang selalu diistikomahkan.
Di awal sub judul, Hadlratusy Syaikh sudah memberikan judul berlapis kepada Rasulullah Saw, al-Qudwah al-Husna, al-Uswah al-Ulya, al-Wasithah al-Kubra. Ada dua kalimat yang memiliki arti sama, yakni al-Qudwah dan al-Uswah. Bedanya, menurut Dr. Kusroni adalah, bahwa al-Qudwah adalah tuntunan (role model) yang berlaku tatkala masa hidupnya, sedang al-Uswah berlaku selepas wafatnya. Pada diri Rasulullah Saw terkandung keduanya.
Perjalanan kepada Allah SWT, atau bahasa jelasnya, keberislaman seseorang tidak akan sempurna, kecuali ia mengikuti tuntunan, tatanan dan bimbingan seorang mursyid, dengan ia berbaiat (janji), talqin (menerima langsung) dan tahkim (mengakui).
Para wali mursyid tersebut, tidak akan mencapai makrifat kepada Allah SWT, kecuali setelah mereka bermakrifat kepada Rasulullah Saw. “Ibarat kata, Rasulullah Saw itu jalan dan para wali adalah pintunya” jelas pemateri.
Beliau Rasulullah Saw adalah sebab paling utama dalam mencapai kebahagiaan abadi dan kebaikan dunia akhirat.
Tak heran jika Kitab al-Muntakhobat ini dimulai dengan bahasan al-Nur al-Muhammady. Maka, sudah pantas bagi kita untuk senantiasa melanggengkan sholawat kepada Rasulullah Saw.
“Sholawat ini posisinya adalah setara dengan Mursyid dalam hal tarbiyah. Bahkan berlaku bagi orang yang punya ataupun tidak punya guru Mursyid,” terang pemateri ketika memberikan terjemah atas Kitab al-Muntakhobat. “Perbanyak baca Sholawat al-Husainiyah. Demikian kata guru-guru saya,” tegas beliau.
Sayangnya, ada sebagian orang yang masih keliru dalam memposisikan guru mursyidnya. Mereka mendudukkan gurunya di atas segalanya. Mereka meyakini bahwa manfaat dan madharat adalah berasal dari gurunya, seraya lalai akan ‘campur tangan’ Allah SWT.
Orang semacam ini telah salah dalam mengambil keputusan. Perlu diketahui bahwa seharusnya guru mursyid hanyalah sebagai wasilah atau wasithah (perantara), bukan maqshad (tujuan). Akibatnya, mereka akan meninggalkan gurunya ketika suatu saat sang guru gagal memenuhi kehendaknya.
Melalui zoom, Dr. KH. Muhammad Musyafa’ menambahkan agar tidak berhenti kepada mursyid. Jangan menjadi seperti yang telah terjadi kepada kaum Syiah yang terlalu mengkultuskan imam-imamnya. Keterangan tentang ketergantungan kepada mursyid ini semakin menarik dengan adanya tambahan komentar dari Ust. Tajul Muluk, M.Ag dari Jogja dan Ust. A. Miftachul Ulum, M.Ag dari Malang.
Maka menjadi penting untuk berpegang kepada para ulama yang pantas disebut pewaris para nabi. Pewaris dalam arti mewarisi ilmu dan amalnya. Yakni, ulama yang dengan ilmunya memunculkan ketakutan (khos.yah) dan pengagungan (‘udmah) kepada Allah SWT.
Hal ini mengutip QS. Fathir ayat 28. Mata rantai para wali yang bersumber dari para nabi ini akan terus berjalan hingga sampai hari akhir nanti. Hal ini diisyarahkan oleh Syaikh Abul Abas Al-Mursyi dalam menafsir QS. al-Baqarah ayat 106. Tidaklah Kami akan mencabut seorang wali, melainkan akan didatangkan yang lebih baik atau setara dengannya.
Dalam berbagai kesempatan, Hadlratusy Syaikh seringkali menampilkan ayat al-Qur’an dengan disertai penafsirannya. Begitu juga dengan haditsnya. Sehingga bukan tidak mungkin jika beliau pantas mendapatkan julukan sebagai Sufi Mufassir yang Muhaddits.
Terinspirasi dari beliau, sebagai doktor di bidang tafsir, sekaligus Kaprodi IAT di STAI Al Fithrah Surabaya, Dr. Kusroni berharap agar kajian tafsir sufistik dapat dikembangkan di lembaganya, “Saya pingin agar IAT di STAI Al Fithrah, kalau di list perguruan tinggi, menjadi rujukan dalam bidang tafsir sufistiknya” sambung beliau.
Majelis Kajian al-Muntakhobat ini ditutup dengan pembacaan Doa Fatihah. Semoga semakin menambah keberkahan ilmu yang telah didapatkan. Aamiiin.