alkhidmah

Peristiwa Penting di Hari Asyura

Hari Asyura, yang jatuh pada 10 Muharam, telah lama dikenal dalam khazanah keislaman sebagai hari bersejarah dengan banyak peristiwa agung. Para ulama mencatat bahwa hari ini bukanlah hari biasa, tetapi menjadi waktu Allah Swt. menurunkan pertolongan-Nya kepada para nabi dan umat-umat terdahulu.

“Dikatakan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam a.s. pada Hari Asyura, menerima tobatnya, menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. dari api, menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan menenggelamkan Fir‘aun, serta mengeluarkan Nabi Yunus a.s. dari perut ikan. Pada hari ini juga Nabi Nuh a.s. berlabuh di Gunung Judi, Nabi Ayyub a.s. disembuhkan dari penyakit, Nabi Yusuf a.s. dikeluarkan dari sumur, dan Nabi Isa a.s. lahir dan diangkat ke langit.” (Nihâyatuz Zain, 196)

Beragam peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Hari Asyura mengandung makna keselamatan dan pemulihan. Hari ini menjadi momentum pertolongan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang berada dalam ujian besar.

Salah satu tradisi yang diwariskan dari kisah Nabi Nuh a.s. adalah memasak makanan dari sisa-sisa biji-bijian setelah banjir besar. Kisah ini menjadi simbol awal kehidupan baru pascabencana.

“Diriwayatkan bahwa ketika kapal Nabi Nuh a.s. berlabuh di Gunung Judi pada Hari Asyura, beliau berkata kepada para pengikutnya: ‘Kumpulkan sisa-sisa makanan kalian!’ Lalu mereka memasak berbagai biji-bijian: kacang, lentil, gandum, jelai, dan beras.” (Nihâyatuz Zain, 196)

Dengan demikian, Hari Asyura mengandung nilai historis dan spiritual yang tinggi. Ia mengajarkan kita tentang keteguhan iman, pentingnya tobat, dan pengharapan terhadap pertolongan Allah dalam berbagai kondisi sulit.

Referensi
Nihâyatuz Zain

Menghidupkan Sunnah di Bulan Mulia: Puasa Tasu’a dan Asyura

Puasa Tasu’a dan Asyura’ merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan di bulan Muharram, khususnya pada tanggal 9 dan 10. Hari Asyura’, yakni tanggal 10 Muharram, dikenal sebagai hari istimewa yang disabdakan Nabi Muhammad ﷺ dapat menghapus dosa setahun sebelumnya. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi ﷺ bersabda, “Aku berharap kepada Allah agar puasa Asyura’ menghapus dosa setahun sebelumnya.” Meski begitu, puasa ini tidak diwajibkan, melainkan sangat ditekankan sebagai bentuk ibadah sunnah muakkadah.

Selain Asyura’, dianjurkan pula untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, yaitu hari Tasu’a. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Jika aku masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim). Hikmah puasa Tasu’a adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak keliru dalam penentuan hari Asyura’, serta sebagai pembeda dari kebiasaan kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10.

Beberapa ulama bahkan menyebutkan bahwa jika tidak sempat berpuasa pada tanggal 9, maka disunnahkan juga berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Ini sebagai bentuk kesempurnaan dalam ibadah dan kehati-hatian dalam menghitung tanggal hijriyah yang bisa saja keliru sehari. Maka dari itu, ada yang menganjurkan untuk berpuasa tiga hari sekaligus: tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Menariknya, keutamaan puasa Asyura’ berbeda dengan puasa Arafah. Puasa Arafah yang dilakukan pada 9 Dzulhijjah dapat menghapus dosa dua tahun, sedangkan Asyura’ menghapus dosa setahun. Hal ini, sebagaimana dijelaskan para ulama seperti Imam Ramli, karena hari Arafah adalah hari yang lebih terkait dengan Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan Asyura’ lebih terkait dengan Nabi Musa عليه السلام.

Kesimpulannya, puasa Tasu’a dan Asyura’ adalah momen spiritual penting di awal tahun hijriyah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Selain sebagai bentuk ibadah, puasa ini juga merupakan simbol identitas umat Islam yang membedakan mereka dari kebiasaan kaum lain, serta bentuk syukur atas kemenangan kebenaran yang dianugerahkan Allah pada hari Asyura’. Maka, mari manfaatkan kesempatan ini untuk memperkuat iman dan mengawali tahun baru Islam dengan amal saleh.

Referensi:
Nihayatu al-Muhtaj, 3/208
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/382
Roudlatu al-Thalibiin, 2/387

Lupa Tidak Berniat Puasa Ramadhan di Malam Hari

Di Indonesia, umumnya niat puasa Ramadhan dibaca bersama-sama setelah rangkaian salat Tarawih dan Witir. Praktik seperti ini juga dijumpai di ponpes Al Fithrah. Hal ini tentu baik, mengantisipasi kealpaan dalam berniat secara sendiri di malam hari.

Berniat puasa Ramadhan di malam hari, sudah sesuai dengan yang telah Rasulullah SAW tuntunkan;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامُ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلِا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak menginapkan (niat) puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.

Ulama’ fiqh menafsiri lafadz tabyit dengan waktu antara matahari tenggelam hingga terbitnya fajar. Dan, dalam Madzhab Syafi’i, tabyit menjadi syarat niat dalam puasa wajib, termasuk puasa Ramadhan. Lalu, bagaimana jika seseorang lupa berniat di malam hari?

Solusi bagi yang lupa tidak berniat puasa di malam hari

Ulama’ fiqh Madzhab Syafi’i bersepakat bahwa orang yang lupa tidak berniat puasa wajib di malam hari, puasanya tidak sah. Meskipun begitu, orang tadi tetap wajib melakukan puasa di hari itu dan menggantinya di bulan lain.

Beruntungnya kita, para ulama’ tidak hanya merumuskan hukum suatu masalah saja. Mereka juga menyertakan solusi pada sebuah masalah yang mereka kaji. Termasuk perihal lupa tidak berniat di malam hari.

Solusi jika seseorang lupa berniat di malam hari, ia masih bisa berniat di pagi hari dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Waktu berniat ini dimulai ketika ia sadar bahwa belum berniat sebelumnya.

Redaksi niatnya seperti berikut,

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ، تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ، لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hadzal yaumi ‘an adaa-i fardhi ramadlaani hadzihis sanati, taqliidan lil imaami abi haniifata, lilllahi ta’ala.

Aku berniat puasa hari ini demi menunaikan kewajiban (bulan) Ramadhan tahun ini, dengan mengikuti Imam Abu Hanifah, karena Allah Ta’ala

Dengan berniat seperti ini, puasa orang berniat setelah fajar akan tetap sah menurut Madzhab Hanafi. Namun, jika seseorang berniat di awal hari tanpa disertai bertaqlid pada Imam Abu Hanifah, maka dianggap mencapur adukkan ibadah yang rusak dalam keyakinannya.  Dan, yang seperti ini hukumnya haram.

Kesimpulan

Solusi dari Ulama’ Madzhab Syafi’iyah, jika seseorang lupa berniat di malam hari, ia masih bisa berniat di pagi hari dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Waktu berniat ini dimulai ketika ia sadar bahwa belum berniat sebelumnya. Perlu diingat, solusi ini berlaku bagi yang lupa berniat, bukan yang sengaja tidak berniat.

Wallahu a’lam

Referensi:
I’anatu al-Thalibin, juz 2 hlm 249
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 2 hlm. 299
Tuhfatu al-Muhtaj, juz 3 hlm 378
Fiqhu al-‘Ibaadaat ‘alaa Madzhabi al-Syafi’I, juz 2 hlm 9

Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (3)

Upgradeable dan Limitation Akal

Istilah upgradeable di sini ialah berasal dari kata bahasa Inggris berupa “upgrade” yang memiliki arti “meningkatkan” sedangkan upgradeable ialah berarti bisa untuk ditingkatkan. Adapun limitation memiliki makna keterbatasan. Pada bagian ini pemateri mencoba untuk mengeksplorasi adanya peningkatan potensi dan sekaligus keterbatasan akal melalui teks yang ada dalam kitab al-Muntakhabat.

Syaikh al-Harits al-Muhasibi menyebutkan bahwa akal pada awalnya ialah berada pada tingkatan al-gharizi namun hal ini bisa diupgrade atau ditingkatkan derajatnya mencapai akal iktisab atau kasbi dengan cara melakukan eksperimen, digunakan untuk berfikir, menganalisis dan instalasi ilmu pengetahuan. Ini merupakan penjelasan upgradeable akal itu sendiri.

Adapun limitation-nya atau kondisi di mana akal tidak dapat diupgrade ialah pada usia maksimal duapuluh delapan tahun. Ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan, “Seorang anak ‘aqil baligh ialah pada usia tujuh tahun, dewasa berusaha empat belas tahun, bertambah tinggi hingga usia dua puluh tahun dan akalnya mencapai kesempurnaan ketika sudah berusia dua puluh delapan tahun. Setelah itu, akalnya tidak bertambah kecuali dengan banyak berlatih”. Artinya, seseorang akan mengalami “perkembangan akal” mulai dari usia tujuh tahun hingga maksimal duapuluh delapan tahun. Jika melewati usia maksimal itu ada kemungkinan ia tidak dapat meningkatkan pengetahuannya kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Sebab itu, dengan adanya eksperimen dan upaya untuk upgrade ilmu pengetahuan itu akan membedakan antara orang yang pintar dan yang bodoh (ahmaq). Hal ini ditegaskan olehh Kyai Asrori dengan mengutip sebagian ulama’ ahli sastra bahwa orang yang berakal (pintar) ialah jika dia sedang dekat dengan seseorang, maka ia akan berusaha untuk mengerahkan segenap pertolongannya. Jika dia sedang dimusuhi, maka ia mampu menghindari kezalimannya dan berkat kepintarannya ini temannya akan bahagia dan orang yang memusuhi akan terlindungi dengan keadilan. Dari sini kemudian pemateri menyebutkan, “orang pintar itu, kepada kawannya bisa melindungi dan kepada lawannya ia bisa mengedukasi”.

Kesimpulan

Melalui penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi akal pada manusia sangatlah penting, selain sebagai controlling agar manusia tidak terjerumus dalam kesesatan syahwat yang mengantarkannya pada kecintaan materi duniawi, akal juga dapat mengantarkan manusia untuk lebih dekat kepada Allah dengan cara terus meng-upgrade-nya sebagaimana disebutkan di atas. Semakin seseorang meningkatkan ilmu pengetahuannya maka agamanya akan semakin kuat, sebaliknya tanpa ilmu pengetahuan eksistensi keagamaannya akan hancur. Maka dari itu, tidak salah kiranya menyebutkan bahwa, “beragama harus dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu”. Ini kemudian yang pemateri sebut dengan “akal spiritualik dan akademik-analitik”.

Kajian al-Muntakhabat: Akal, antara Materi dan Potensi (1)

Kajian al-Muntakhabat tentang akal yang menjadi fokus pembahasan pada tulisan ini merupakan lanjutan dari kajian al-Muntakhabat pada seri sebelumnya yang membahas tentang “khashais al-insan” (Keistimewaan-keistimewaan Manusia). Setelah bab keistimewaan manusia inilah, dapat ditemukan pembahasan akal dan seluk beluknya; mengenai keutamaan, klasifikasi, tempat akal serta komparasi antara ilmu dan akal.

Oleh sebab itu, melalui kajian al-Muntakhabat yang diadakan oleh Majlis Kebersamaan dalam Pembahasan Ilmiah (MKPI) pada Selasa (23/07), tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan akal dalam al-Muntakhabat oleh Ust. Tajul Muluk melalui kajian tematik dengan judul “Akal: antara Materi dan Potensi”.

Menurut Ust. Tajul, adanya judul ini dilatarbelakangi oleh sebuah pernyataan bahwa setiap manusia memiliki akal yang berfungsi untuk membedakan antara manusia dengan mahluk Allah yang lain. Ironisnya, akal tersebut hanya menjadi materi saja (punya akal tetapi tidak digunakan dengan sesuai fungsinya). Sehingga, ketika sudah pada dimensi ini manusia hanya menggunakan akalnya sebagai materi saja, tidak sebagai materi yang memiliki potensi.

Kemuliaan dan Keutamaan Akal

Dalam pembahasan awal mengenai akal, Kyai Asrori mengutip pendapatnya Imam al-Mawardi, menyatakan bahwa setiap keutamaan itu memiliki basis atau dasarnya dan setiap adab pasti ada sumbernya. Adapun basis keutamaan dan sumber adab ini ialah akal yang diciptakan oleh Allah sebagai pangkal agama dan pilar dunia. Pernyataan Imam al-Mawardi ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa keistimewaan manusia itu berbanding lurus dengan fungsi yang optimal dari akalnya masing-masing. Semakin akal difungsikan secara optimal, seseorang tersebut akan memiliki keutamaan dan moralitas yang baik.

Beberapa hal yang mengindikasikan kemuliaan dan keutamaan ialah: pertama, taklif. Manusia yang sudah lahir ia memiliki akal tetapi belum dikenai hukum taklif. Sehingga, hukum taklif ini berlaku ketika seseorang sudah mumayyiz sebagai barometer awal seorang muslim dikatakan mampu dibebani oleh hukum syari’at. Kedua, tatanan kehidupan sosial. Basis daripada tatanan kehidupan sosial yang baik ialah akal. Salah satu contohnya, dalam ushul al-fiqh dikenal dengan “al-‘adah muhakkamah” yakni perbuatan manusia yang berulang-ulang dan bisa diterima oleh akal, maka dapat dijadikan sebagai acuan hukum.

Ketiga, Akal dapat menjadi jembatan (bridge) dalam relasi sosial. Ibaratnya seorang pasangan suami istri, sebelum menikah idealnya antara laki-laki dan perempuan memiliki basis tersendiri dalam menakar kesesuaian dengan pasangannya, apakah cocok atau tidak. Sehingga, untuk mengetahui kecocokannya tersebut dijembatani oleh akal. Keempat, akal menjadi hulu atau sumber daripada ilmu pengetahuan sebagaimana disebutkan al-Ghazali, “al-aqlu manba’ul ilmi” (akal adalah sumber ilmu pengetahuan).