AlFithrah

12 Amalan yang Dianjurkan Ulama Di Hari Asyura

Selain peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada Hari Asyura, umat Islam juga dianjurkan untuk menghidupkan hari ini dengan berbagai amalan sunnah. Berbagai riwayat dari Nabi Muhammad Saw. dan penjelasan para ulama dalam kitab turats menyebutkan keutamaan beramal saleh di hari yang penuh berkah ini.

Puasa Asyura adalah amalan yang paling utama. Nabi Muhammad Saw. mencontohkannya dan menyatakan bahwa puasa ini bisa menjadi sebab pengampunan dosa selama satu tahun sebelumnya. Meski begitu, ulama juga menyebutkan banyak amal lain yang dianjurkan, seperti bersedekah, memperluas nafkah kepada keluarga, dan mengusap kepala anak yatim sebagai bentuk kasih sayang.

Dalam kitab Nihâyatuz Zain karya Syekh Nawawi al-Bantani disebutkan bahwa ada dua belas amalan utama yang dianjurkan di Hari Asyura. Di antaranya: shalat (terutama shalat tasbih), puasa, sedekah, memperluas nafkah keluarga, mandi sunnah, memakai celak, memotong kuku, menjenguk orang sakit, mengusap kepala anak yatim, membaca surat Al-Ikhlas seribu kali, menyambung silaturahmi, dan berziarah kepada ulama atau orang saleh.

Ulama besar seperti Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyebutkan beberapa dzikir yang sangat dianjurkan dibaca pada hari ini, seperti kalimat: “Subhânallâh, walhamdulillâh, Allâhu Akbar” dengan berbagai redaksi tambahan. Disebutkan pula bahwa barang siapa membaca kalimat Hasbiyallâh wa ni‘mal-wakîl, ni‘mal-mawlâ wa ni‘man-nashîr sebanyak 70 kali pada Hari Asyura, Allah akan mencukupkannya dari segala keburukan sepanjang tahun.

Dengan demikian, Hari Asyura menjadi momentum untuk memperbanyak amal saleh, mempererat kasih sayang antar sesama, dan meningkatkan hubungan dengan Allah Swt. Melalui amalan yang ringan namun penuh keutamaan ini, umat Islam dapat meraih keberkahan dan pengampunan dari-Nya.

Referensi
Nihâyatuz Zain
Al-Ghunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq

Peristiwa Penting di Hari Asyura

Hari Asyura, yang jatuh pada 10 Muharam, telah lama dikenal dalam khazanah keislaman sebagai hari bersejarah dengan banyak peristiwa agung. Para ulama mencatat bahwa hari ini bukanlah hari biasa, tetapi menjadi waktu Allah Swt. menurunkan pertolongan-Nya kepada para nabi dan umat-umat terdahulu.

“Dikatakan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam a.s. pada Hari Asyura, menerima tobatnya, menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. dari api, menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan menenggelamkan Fir‘aun, serta mengeluarkan Nabi Yunus a.s. dari perut ikan. Pada hari ini juga Nabi Nuh a.s. berlabuh di Gunung Judi, Nabi Ayyub a.s. disembuhkan dari penyakit, Nabi Yusuf a.s. dikeluarkan dari sumur, dan Nabi Isa a.s. lahir dan diangkat ke langit.” (Nihâyatuz Zain, 196)

Beragam peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Hari Asyura mengandung makna keselamatan dan pemulihan. Hari ini menjadi momentum pertolongan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang berada dalam ujian besar.

Salah satu tradisi yang diwariskan dari kisah Nabi Nuh a.s. adalah memasak makanan dari sisa-sisa biji-bijian setelah banjir besar. Kisah ini menjadi simbol awal kehidupan baru pascabencana.

“Diriwayatkan bahwa ketika kapal Nabi Nuh a.s. berlabuh di Gunung Judi pada Hari Asyura, beliau berkata kepada para pengikutnya: ‘Kumpulkan sisa-sisa makanan kalian!’ Lalu mereka memasak berbagai biji-bijian: kacang, lentil, gandum, jelai, dan beras.” (Nihâyatuz Zain, 196)

Dengan demikian, Hari Asyura mengandung nilai historis dan spiritual yang tinggi. Ia mengajarkan kita tentang keteguhan iman, pentingnya tobat, dan pengharapan terhadap pertolongan Allah dalam berbagai kondisi sulit.

Referensi
Nihâyatuz Zain

Klasifikasi Ilmu Syariat Perspektif Kyai Asrori: Menyatukan Zahir dan Batin

Pembahasan tentang klasifikasi ilmu syariat dalam konteks tasawuf memiliki keunikan tersendiri. Banyak orang mengira bahwa belajar tasawuf hanya sebatas membahas konsep seperti sabar, syukur, dan zuhud, tanpa memahami apa sebenarnya ilmu syariat secara menyeluruh.

Secara bahasa, istilah “syariat” berarti jalan menuju sumber air (al-thariq al-mushil ila mawarid al-ma’). Dalam konteks ilmu, ini berarti jalan yang mengantar manusia pada keselamatan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat. Menurut Ust. Abu Sari – pemateri pada kajian al-Muntakhabat pada Jum’at, 1 Muharram 1447 H./27 Juni 2025 M. – syariat mencakup seluruh rumpun ilmu agama secara universal.

Kyai Achmad Asrori membagi ilmu syariat menjadi empat segmen. Pertama, ilmu riwayat yang berkaitan dengan hadis, atsar, dan proses periwayatannya. Kedua, ilmu dirayah yang berfokus pada kritik sanad dan matan, termasuk pemahaman istilah hadis dan fikih. Ketiga, ilmu qiyas dan nadzar, seperti logika (mantiq) serta metode berargumentasi dan berdiskusi dengan pendapat yang berbeda. Keempat, ilmu hakikat dan maqamat, yaitu ilmu batin seperti sabar, ikhlas, dan mujahadah—segala yang berkaitan dengan penyucian hati dan hubungan langsung dengan Allah.

Dalam kerangka tasawuf, ilmu ini dibagi lagi menjadi dua jenis: ilmu mu’amalah (tentang perilaku batin) dan ilmu mukasyafah (ilmu yang muncul dari kejernihan hati). Menurut Imam al-Ghazali, berguru kepada ulama sufi dalam menyembuhkan penyakit hati adalah kewajiban fardhu ‘ain, karena manusia tidak bisa mengenali penyakit batinnya sendiri tanpa bimbingan seorang mursyid.

Termasuk dalam segmen keempat ini adalah membiasakan diri bergantung kepada Allah, menundukkan hawa nafsu (bukan menghilangkannya), serta memperbaiki adab kepada Allah dalam segala kondisi. Zuhud di sini bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tapi menjadikan hati tidak terikat padanya.

Kyai Asrori juga menekankan pentingnya profesionalitas dalam menuntut ilmu. Ahli di bidang hadis tidak bisa menjawab persoalan dalam bidang fikih, begitu pula sebaliknya. Apalagi dalam ilmu hakikat, hanya yang benar-benar ahli dan matang yang dapat membimbing.

Ia menegaskan bahwa seorang ahli hakikat bisa menguasai seluruh ilmu syariat, namun tidak semua ahli syariat otomatis memahami hakikat. Sebab ilmu hakikat adalah buah dari keseluruhan perjalanan keilmuan. Karena itu, ada ungkapan: “Jadilah faqih yang kemudian bertasawuf, jangan jadi sufi yang belum mendalami fikih.”

Ketika seseorang mencapai tingkat ilmu hakikat, maka seperti berada di lautan tak bertepi. Imam al-Ghazali menyebut bahwa ketika ia belajar fikih dan filsafat, ia bisa menemukan batasnya. Namun saat menekuni ilmu hakikat, ia merasa tidak tahu di mana ia berada—itulah luasnya dimensi batin.

Ciri seorang sufi sejati adalah tidak mengingkari ilmu syariat. Hal ini karena syariat mencakup semuanya, termasuk para sufi. Sementara orang yang belum memahami tasawuf bisa saja menolaknya karena belum menyelaminya dengan benar.

Dengan demikian, ilmu syariat tidak terbatas pada fikih semata, tapi mencakup seluruh jalan yang membawa manusia menuju Allah. Tasawuf bukan ilmu yang terpisah dari syariat, melainkan inti terdalamnya. Orang yang menggabungkan aspek lahir (fikih) dan batin (tasawuf) dalam dirinya layak disebut al-Imām al-Kāmil—pemimpin ruhani yang sempurna.

Poin-poin penting:

Pertama, klasifikasi ilmu syariat mencerminkan nilai profesionalitas dalam menekuni bidang masing-masing.
Kedua, tasawuf sebagai ilmu batin memiliki tahapan belajar yang harus dilalui secara bertahap, dari kitab tasawuf al-Ghazali dilanjutkan ke kitab tasawuf al-Syadzili.
Ketiga, tasawuf sebagai praktik membutuhkan proses panjang; tidak bisa dicapai tanpa latihan dan pendampingan yang serius.

Menghidupkan Sunnah di Bulan Mulia: Puasa Tasu’a dan Asyura

Puasa Tasu’a dan Asyura’ merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan di bulan Muharram, khususnya pada tanggal 9 dan 10. Hari Asyura’, yakni tanggal 10 Muharram, dikenal sebagai hari istimewa yang disabdakan Nabi Muhammad ﷺ dapat menghapus dosa setahun sebelumnya. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi ﷺ bersabda, “Aku berharap kepada Allah agar puasa Asyura’ menghapus dosa setahun sebelumnya.” Meski begitu, puasa ini tidak diwajibkan, melainkan sangat ditekankan sebagai bentuk ibadah sunnah muakkadah.

Selain Asyura’, dianjurkan pula untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, yaitu hari Tasu’a. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Jika aku masih hidup hingga tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim). Hikmah puasa Tasu’a adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak keliru dalam penentuan hari Asyura’, serta sebagai pembeda dari kebiasaan kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10.

Beberapa ulama bahkan menyebutkan bahwa jika tidak sempat berpuasa pada tanggal 9, maka disunnahkan juga berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Ini sebagai bentuk kesempurnaan dalam ibadah dan kehati-hatian dalam menghitung tanggal hijriyah yang bisa saja keliru sehari. Maka dari itu, ada yang menganjurkan untuk berpuasa tiga hari sekaligus: tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.

Menariknya, keutamaan puasa Asyura’ berbeda dengan puasa Arafah. Puasa Arafah yang dilakukan pada 9 Dzulhijjah dapat menghapus dosa dua tahun, sedangkan Asyura’ menghapus dosa setahun. Hal ini, sebagaimana dijelaskan para ulama seperti Imam Ramli, karena hari Arafah adalah hari yang lebih terkait dengan Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan Asyura’ lebih terkait dengan Nabi Musa عليه السلام.

Kesimpulannya, puasa Tasu’a dan Asyura’ adalah momen spiritual penting di awal tahun hijriyah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Selain sebagai bentuk ibadah, puasa ini juga merupakan simbol identitas umat Islam yang membedakan mereka dari kebiasaan kaum lain, serta bentuk syukur atas kemenangan kebenaran yang dianugerahkan Allah pada hari Asyura’. Maka, mari manfaatkan kesempatan ini untuk memperkuat iman dan mengawali tahun baru Islam dengan amal saleh.

Referensi:
Nihayatu al-Muhtaj, 3/208
Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 6/382
Roudlatu al-Thalibiin, 2/387

Makna dan Sejarah Penamaan Hari Tarwiyah

Hari tarwiyyah adalah hari kedelapan bulan Dzulhijjah dalam rangkaian ibadah haji. Dinamakan demikian, karena pada masa dahulu para jamaah haji memberi minum unta mereka dan mengisi perbekalan air sebelum berangkat dari Mekah ke Arafah. Pada masa itu, di Arafah dan sekitarnya belum ada sumber air seperti sumur atau mata air.

Namun, kondisi itu berbeda dengan zaman sekarang. Ketersediaan air di wilayah tersebut kini sangat melimpah, sehingga jamaah haji tidak lagi perlu membawa air sendiri. Perubahan ini mencerminkan perkembangan fasilitas yang sangat pesat di tanah suci.

Imam Al-Fakihi meriwayatkan dalam kitab Akhbaar Makkah dari Imam Mujahid, yang berkata bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah berkata: “Wahai Mujahid, jika engkau melihat air di jalan-jalan Mekah dan bangunan tinggi menjulang di puncak-puncaknya, maka waspadalah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketahuilah bahwa urusan besar telah mendekat.” Ini dipahami sebagai isyarat akan datangnya tanda-tanda akhir zaman.

Selain itu, terdapat berbagai pendapat lain yang menyebut asal-usul nama tarwiyyah. Misalnya, bahwa Nabi Adam as.  bertemu dengan Hawa pada hari itu. Ada juga yang mengatakan Nabi Ibrahim as.  bermimpi menyembelih anaknya, lalu pada pagi harinya ia merenung dan berpikir-pikir (yatarawwaa) tentang mimpi tersebut.

Pendapat lainnya menyebutkan bahwa pada hari itu Jibril memperlihatkan manasik haji kepada Nabi Ibrahim. Ada juga yang mengatakan imam haji mengajarkan manasik kepada jamaah pada hari tersebut. Namun, secara kaidah bahasa Arab, bentuk kata tarwiyyah tidak cocok berasal dari makna-makna tersebut.

Dalam kitab Fath al-Bari dijelaskan bahwa jika tarwiyyah berasal dari makna melihat, maka mestinya dinamakan Yaum al-Ru’yah (hari melihat). Jika dari renungan, seharusnya Yaum at-Tarawwi dengan tasydid pada huruf wawu. Jika dari mimpi, semestinya berasal dari kata ru’yaa; dan jika dari riwayat, maka bentuk katanya pun berbeda.

Dalam al-‘Umdah, disebutkan bahwa al-Jauhari menjelaskan tarwiyyah berasal dari kata kerja rawaa (رَوَى) yang berarti minum atau memberi minum. Dulu, jamaah haji mengisi air untuk persiapan hari-hari berikutnya. Maka, kata tarwiyyah berasal dari makna “memberi minum” dalam bentuk kata dasar (masdar) mengikuti wazan taf’iilun (تفعيل).

Pendapat bahwa tarwiyyah berasal dari kata ra’aa (melihat) dianggap tidak tepat secara etimologis. Dalam bahasa Arab, kata ra’aa menghasilkan bentuk seperti tar’iyyah dan tariyyah, bukan tarwiyyah. Misalnya, tar’iyyah berarti melihat sedikit darah haid, dan tariyyah adalah kain penanda antara haid dan suci. Adapun pendapat yang mengaitkan tarwiyyah dengan riwaayah (riwayat atau penyampaian), dianggap sangat lemah. Karena secara bahasa, tidak ditemukan bentuk tarwiyyah dari akar kata tersebut. Oleh karena itu, makna yang paling kuat adalah bahwa tarwiyyah berasal dari kegiatan mengisi air sebagai bekal perjalanan. WaAllahu a’lam.

Referensi:
Al-Bahr al-Muhiith, 23/735