AlFithrah

Estafet Kepemimpinan Menuju Al Fithrah yang Lebih Berkah

Selasa (30/9) Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya selenggarakan pemindahan estafet kepemimpian kepengurusan kepada pengurus baru. Acara yang diselenggarakan di Pendopo Al Fithrah ini dibuka dengan Tawasul, Istigotsah dan Maulid fi Hubby, sebagaimana yang telah ditentukan oleh para guru.

“Acara (estafet kepemimpinan) ini akan menjadi momentum yang akan menentukan masa depan Al Fithrah dalam 4 tahun ke depan” Ucap Ust. Mustaqim, M.Ag, selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum Kepengurusan Pesantren (KPUKP).

“Semoga melalui ini tercipta kerjasama yang baik antar rasionalitas dan spiritual. Sebagai implementasi ayat:


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sungguh Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang bersedia, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia agar kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang terbaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa ayat 58).

“Teriring doa semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua, guyub rujun dalam berkhidmah” Tutup beliau.

Pengukuhan Kepemimpinan Baru

Pembacaan Surat Keputusan Kepengurusan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya disampaikan oleh Ust. Ahmad Syathori, M.Fil.I. Selanjutnya dibacakan susunan pengurus baru Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya oleh Ust. Ali Mastur, M.Pd.

Dalam kesempatan ini, Ust. Nashiruddin, M.Pd dilantik menjadi Kepala Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya periode 2025-2029 menggantikan Ust. Kunawi, M.Pd.

Dokumentasi Penyerahan Estafet Kepemimpinan Kepengurusan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya dari Ust. Kunawi, M.Pd kepada Ust. Nashiruddin, M.Pd

Agenda empat tahunan yang dihadiri oleh seluruh dewan pengurus Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ini dibacakan para kepala baru unit lembaga pendidikan di Al Fithrah. RA Al Fithrah dikepalai oleh Usth. Nuriyah, S.Pd. MI Al Fithrah dikepalai Ustdh. Zumrotul Fauziyah, S.Pd.I, Kepala PDF Wustha Al Fithrah oleh Ust. Nur Yasin, S.Ud, PDF Ulya Al Fithrah dikepalai Ust. Nashiruddin, S.Pd, M.M, dan Mudir Ma’had Aly dan MDTJ adalah Ust. Abdullah, S.Ud, M.Pd

Struktural Lengkap Kepengurusan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya baca di sini

Pakta Integritas Kepemimpinan

Setelah penyerahan jabatan dari kepemimpinan lama kepada kepemimpinan baru, pembacaan pakta integritas dipimpin oleh Ust. Ilyas Rahman, S.Ud. Para pengurus yang hadir turut berdiri membacakan pakta integritas kepemimpinan secara bersama-sama.

Selesai pembacaan pakta integritas dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan mewakili pengurus lama disampaikan oleh Ust. Kunawi, M.Pd selaku Kepala Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya periode 2021-2025 memohon maaf apabila terdapat kekurangan selama melaksanakan tugas empat tahun di Al Fithrah.

Ust. Nashiruddin, M.Pd mewakili pengurus baru juga turut menyampaikan sambutannya.
“Bahwa pernah didawuhkan oleh Hadratusy Syaikh, Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ini harus menjadi contoh terdepan dalam hal agama. Baik itu dalam hal pendidikan, kewadzifahan, administrasi dan keuangan” Ucap Kepala Pondok periode tahun 2025-2029.

“Kami sangat mengharapkan tuntunan dan bimbingan, terutama dari para dewan penasehat” tutup beliau.

Nasihat Kepemimpinan

Penyampaian nasehat disampaikan salah satu dewan penasehat Al Fithrah. Dalam hal ini disampaikan oleh Ust. Khoiruddin, S.Ud.
“Saya yakin, panjenengan semua di sini tidak ada keinginan untuk menjadi pemimpin di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya” buka beliau yang kemudian mengutip ayat Alquran.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”, (QS. Al Ahzab 72)


Beliau berpesan agar para pengurus selalu mengutamakan keterbukaan dan saling berkoordinasi dalam menjalankan masing-masing khidmahnya.

Semoga, kepemimpinan baru Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya ini akan membawa dampak kemajuan bagi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Mewujudkan Al Fithrah yang lebih berkah, manfaat dan maslahat. Aamiin

Allah Ridha dengan Taubat Hamba-Nya

Jangan Menunda untuk Kembali

Sering kali kita merasa langkah kita sudah terlalu jauh, noda dosa terlalu menumpuk, hingga muncul bisikan putus asa: “Apakah mungkin Allah masih mau menerima taubatku? Bagaimana jika aku kembali jatuh dalam dosa setelah bertaubat? Apakah taubatku masih berarti?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap membuat kita menunda untuk kembali kepada Allah, bahkan ada yang akhirnya larut dalam keputusasaan.

Padahal, dalam kondisi hati yang gundah itu, sebaiknya kita kembali merenungi sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan Imam Muslim no. 2675. Rasulullah Saw. bersabda:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ أَحَدِكُمْ، مِنْ أَحَدِكُمْ بِضَالَّتِهِ، إِذَا وَجَدَهَا

“Sungguh, Allah lebih gembira dengan taubat salah seorang di antara kalian, daripada kegembiraan seseorang yang menemukan kembali barangnya yang hilang.” (HR. Muslim)

Kisah Musafir dan Unta yang Hilang

Dalam riwayat lain yang terdapat redaksi hadits di atas, Rasulullah Saw. menceritakan kisah seorang musafir yang kehilangan untanya di tengah padang pasir. Pada unta itu terdapat bekal makanan dan minuman, satu-satunya sumber kehidupan baginya. Ia pun berusaha mencarinya ke segala arah, namun tidak juga menemukannya. Lelah, lapar, haus, dan putus asa menyelimuti dirinya. Ia pun berbaring di bawah sebuah pohon, pasrah menunggu ajal.

Namun, saat ia terbangun, tiba-tiba unta itu telah berdiri di hadapannya. Betapa kaget dan bahagianya ia! Saking gembiranya, ia sampai salah ucap, Ya Allah, Engkau hambaku, dan aku Tuhan-Mu.” (padahal ia ingin mengatakan sebaliknya). Itu semua karena kebahagiaan yang begitu meluap-luap.

Dalam riwayat ini, Rasulullah Saw. menegaskan, kebahagiaan Allah menerima taubat hamba-Nya jauh lebih besar daripada kebahagiaan musafir yang menemukan kembali unta dan kehidupannya.

Pandangan Ulama tentang Taubat

Ibn al-Qayyim ra. (Madarij al-Salikin (1/274) menjelaskan:

فالتوبة هي بداية العبد ونهايته، وحاجتُه إليها في النهاية ضرورية، كما حاجتُه إليها في البداية كذلك.

Taubat adalah permulaan seorang hamba sekaligus akhirnya. Kebutuhan hamba terhadap taubat di akhir hayatnya adalah suatu keniscayaan, sebagaimana kebutuhannya terhadap taubat di awal perjalanannya.

Kemudian beliau mengutip firman Allah Ta‘ala:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Nur: 31)

Ayat ini terdapat dalam surah Madaniyyah, di mana Allah memerintahkan orang-orang beriman—yang sudah berjuang dengan iman, kesabaran, hijrah, dan jihad—untuk tetap bertaubat kepada-Nya. Allah bahkan menggantungkan keberuntungan (al-falaah) dengan taubat, sebagaimana akibat yang pasti mengikuti sebabnya. Penggunaan kata “la‘alla” dalam ayat ini memberi isyarat bahwa keberhasilan dan kemenangan hanya bisa diharapkan oleh mereka yang bertaubat.

Maka, jelaslah bahwa taubat adalah awal sekaligus akhir perjalanan seorang hamba, dan kebutuhannya terhadap taubat tidak pernah berhenti sampai ajal menjemput.

Hikmah yang Bisa Dipetik

Dari telaah hadits di atas bisa disimpulakan beberapa hikmah yang bisa kita ambil, di antaranya:

  • Allah membuka pintu taubat seluas-luasnya. Selama ruh belum sampai di tenggorokan, kesempatan untuk kembali kepada-Nya masih ada.
  • Jangan menunda taubat. Menunda hanya memperbesar peluang kita kembali hanyut dalam dosa dan kehilangan kesempatan.
  • Taubat butuh tekad. Niat yang tulus untuk meninggalkan dosa, disertai usaha untuk tidak mengulanginya, adalah syarat diterimanya taubat.
  • Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Rasa ridha dan bahagia-Nya atas taubat hamba adalah tanda kasih sayang yang tiada tara.

Penutup

Maka, jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Betapapun besar dosa kita, ampunan Allah jauh lebih besar. Sebagaimana firman-Nya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Zumar: 53) Semoga Allah menerima setiap taubat kita, menyucikan hati kita, dan menjaga kita dari perbuatan maksiat. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.

12 Amalan yang Dianjurkan Ulama Di Hari Asyura

Selain peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada Hari Asyura, umat Islam juga dianjurkan untuk menghidupkan hari ini dengan berbagai amalan sunnah. Berbagai riwayat dari Nabi Muhammad Saw. dan penjelasan para ulama dalam kitab turats menyebutkan keutamaan beramal saleh di hari yang penuh berkah ini.

Puasa Asyura adalah amalan yang paling utama. Nabi Muhammad Saw. mencontohkannya dan menyatakan bahwa puasa ini bisa menjadi sebab pengampunan dosa selama satu tahun sebelumnya. Meski begitu, ulama juga menyebutkan banyak amal lain yang dianjurkan, seperti bersedekah, memperluas nafkah kepada keluarga, dan mengusap kepala anak yatim sebagai bentuk kasih sayang.

Dalam kitab Nihâyatuz Zain karya Syekh Nawawi al-Bantani disebutkan bahwa ada dua belas amalan utama yang dianjurkan di Hari Asyura. Di antaranya: shalat (terutama shalat tasbih), puasa, sedekah, memperluas nafkah keluarga, mandi sunnah, memakai celak, memotong kuku, menjenguk orang sakit, mengusap kepala anak yatim, membaca surat Al-Ikhlas seribu kali, menyambung silaturahmi, dan berziarah kepada ulama atau orang saleh.

Ulama besar seperti Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyebutkan beberapa dzikir yang sangat dianjurkan dibaca pada hari ini, seperti kalimat: “Subhânallâh, walhamdulillâh, Allâhu Akbar” dengan berbagai redaksi tambahan. Disebutkan pula bahwa barang siapa membaca kalimat Hasbiyallâh wa ni‘mal-wakîl, ni‘mal-mawlâ wa ni‘man-nashîr sebanyak 70 kali pada Hari Asyura, Allah akan mencukupkannya dari segala keburukan sepanjang tahun.

Dengan demikian, Hari Asyura menjadi momentum untuk memperbanyak amal saleh, mempererat kasih sayang antar sesama, dan meningkatkan hubungan dengan Allah Swt. Melalui amalan yang ringan namun penuh keutamaan ini, umat Islam dapat meraih keberkahan dan pengampunan dari-Nya.

Referensi
Nihâyatuz Zain
Al-Ghunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq

Peristiwa Penting di Hari Asyura

Hari Asyura, yang jatuh pada 10 Muharam, telah lama dikenal dalam khazanah keislaman sebagai hari bersejarah dengan banyak peristiwa agung. Para ulama mencatat bahwa hari ini bukanlah hari biasa, tetapi menjadi waktu Allah Swt. menurunkan pertolongan-Nya kepada para nabi dan umat-umat terdahulu.

“Dikatakan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam a.s. pada Hari Asyura, menerima tobatnya, menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. dari api, menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan menenggelamkan Fir‘aun, serta mengeluarkan Nabi Yunus a.s. dari perut ikan. Pada hari ini juga Nabi Nuh a.s. berlabuh di Gunung Judi, Nabi Ayyub a.s. disembuhkan dari penyakit, Nabi Yusuf a.s. dikeluarkan dari sumur, dan Nabi Isa a.s. lahir dan diangkat ke langit.” (Nihâyatuz Zain, 196)

Beragam peristiwa tersebut menunjukkan bahwa Hari Asyura mengandung makna keselamatan dan pemulihan. Hari ini menjadi momentum pertolongan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang berada dalam ujian besar.

Salah satu tradisi yang diwariskan dari kisah Nabi Nuh a.s. adalah memasak makanan dari sisa-sisa biji-bijian setelah banjir besar. Kisah ini menjadi simbol awal kehidupan baru pascabencana.

“Diriwayatkan bahwa ketika kapal Nabi Nuh a.s. berlabuh di Gunung Judi pada Hari Asyura, beliau berkata kepada para pengikutnya: ‘Kumpulkan sisa-sisa makanan kalian!’ Lalu mereka memasak berbagai biji-bijian: kacang, lentil, gandum, jelai, dan beras.” (Nihâyatuz Zain, 196)

Dengan demikian, Hari Asyura mengandung nilai historis dan spiritual yang tinggi. Ia mengajarkan kita tentang keteguhan iman, pentingnya tobat, dan pengharapan terhadap pertolongan Allah dalam berbagai kondisi sulit.

Referensi
Nihâyatuz Zain

Klasifikasi Ilmu Syariat Perspektif Kyai Asrori: Menyatukan Zahir dan Batin

Pembahasan tentang klasifikasi ilmu syariat dalam konteks tasawuf memiliki keunikan tersendiri. Banyak orang mengira bahwa belajar tasawuf hanya sebatas membahas konsep seperti sabar, syukur, dan zuhud, tanpa memahami apa sebenarnya ilmu syariat secara menyeluruh.

Secara bahasa, istilah “syariat” berarti jalan menuju sumber air (al-thariq al-mushil ila mawarid al-ma’). Dalam konteks ilmu, ini berarti jalan yang mengantar manusia pada keselamatan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat. Menurut Ust. Abu Sari – pemateri pada kajian al-Muntakhabat pada Jum’at, 1 Muharram 1447 H./27 Juni 2025 M. – syariat mencakup seluruh rumpun ilmu agama secara universal.

Kyai Achmad Asrori membagi ilmu syariat menjadi empat segmen. Pertama, ilmu riwayat yang berkaitan dengan hadis, atsar, dan proses periwayatannya. Kedua, ilmu dirayah yang berfokus pada kritik sanad dan matan, termasuk pemahaman istilah hadis dan fikih. Ketiga, ilmu qiyas dan nadzar, seperti logika (mantiq) serta metode berargumentasi dan berdiskusi dengan pendapat yang berbeda. Keempat, ilmu hakikat dan maqamat, yaitu ilmu batin seperti sabar, ikhlas, dan mujahadah—segala yang berkaitan dengan penyucian hati dan hubungan langsung dengan Allah.

Dalam kerangka tasawuf, ilmu ini dibagi lagi menjadi dua jenis: ilmu mu’amalah (tentang perilaku batin) dan ilmu mukasyafah (ilmu yang muncul dari kejernihan hati). Menurut Imam al-Ghazali, berguru kepada ulama sufi dalam menyembuhkan penyakit hati adalah kewajiban fardhu ‘ain, karena manusia tidak bisa mengenali penyakit batinnya sendiri tanpa bimbingan seorang mursyid.

Termasuk dalam segmen keempat ini adalah membiasakan diri bergantung kepada Allah, menundukkan hawa nafsu (bukan menghilangkannya), serta memperbaiki adab kepada Allah dalam segala kondisi. Zuhud di sini bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tapi menjadikan hati tidak terikat padanya.

Kyai Asrori juga menekankan pentingnya profesionalitas dalam menuntut ilmu. Ahli di bidang hadis tidak bisa menjawab persoalan dalam bidang fikih, begitu pula sebaliknya. Apalagi dalam ilmu hakikat, hanya yang benar-benar ahli dan matang yang dapat membimbing.

Ia menegaskan bahwa seorang ahli hakikat bisa menguasai seluruh ilmu syariat, namun tidak semua ahli syariat otomatis memahami hakikat. Sebab ilmu hakikat adalah buah dari keseluruhan perjalanan keilmuan. Karena itu, ada ungkapan: “Jadilah faqih yang kemudian bertasawuf, jangan jadi sufi yang belum mendalami fikih.”

Ketika seseorang mencapai tingkat ilmu hakikat, maka seperti berada di lautan tak bertepi. Imam al-Ghazali menyebut bahwa ketika ia belajar fikih dan filsafat, ia bisa menemukan batasnya. Namun saat menekuni ilmu hakikat, ia merasa tidak tahu di mana ia berada—itulah luasnya dimensi batin.

Ciri seorang sufi sejati adalah tidak mengingkari ilmu syariat. Hal ini karena syariat mencakup semuanya, termasuk para sufi. Sementara orang yang belum memahami tasawuf bisa saja menolaknya karena belum menyelaminya dengan benar.

Dengan demikian, ilmu syariat tidak terbatas pada fikih semata, tapi mencakup seluruh jalan yang membawa manusia menuju Allah. Tasawuf bukan ilmu yang terpisah dari syariat, melainkan inti terdalamnya. Orang yang menggabungkan aspek lahir (fikih) dan batin (tasawuf) dalam dirinya layak disebut al-Imām al-Kāmil—pemimpin ruhani yang sempurna.

Poin-poin penting:

Pertama, klasifikasi ilmu syariat mencerminkan nilai profesionalitas dalam menekuni bidang masing-masing.
Kedua, tasawuf sebagai ilmu batin memiliki tahapan belajar yang harus dilalui secara bertahap, dari kitab tasawuf al-Ghazali dilanjutkan ke kitab tasawuf al-Syadzili.
Ketiga, tasawuf sebagai praktik membutuhkan proses panjang; tidak bisa dicapai tanpa latihan dan pendampingan yang serius.