ramadhan1444h

Anjuran Makan Sahur

Di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, di bulan Ramadhan, sahur untuk para santri dilaksanakan setelah rangkaian shalat malam. Waktu sahur ini sebagai antisipasi santri melewatkan makan sahur karena terlalau lelap tidur.

Namun, apakah sahur yang dilaksanakan oleh para santri sudah sesuai dengan  sahur yang dianjurkan Rasulullah SAW.?

Dalil anjuran sahur dan mengakhirkan sahur

Dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sahurlah kalian! Karena sesungguhnya dalam sahur terdapat keberkahan.”. Hadits ini  menjadi landasan anjuran makan sahur.

Sedangkan dalil yang menjadi landasan kesunahan mengakhirkan  sahur adalah hadits riwayat  Zaid bin Tsabit RA. Beliau berkata, “kami makan sahur bersama Rasulullah SAW., lalu kami melaksanakan salat. Jaraknya –  antara makan sahur dan shalat – sekitar membaca 50 ayat.”

Waktu sahur

Dalam kitab I’aanatu al-Thalibin ada beberapa pendapat mengenai waktu sahur. Syaikh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, mushanif kitab menyimpulkan waktu sahur dimulai dari separuh malam hingga terbitnya fajar. Walaupun hanya dengan seteguk air setelah lewat tengah malam, sudah dianggap cukup. Sehingga makan sebelum tengah malam belum bisa disebut sahur.

Sementara waktu sahur yang utama adalah menjelang fajar terbit dengan jarak sekitar membaca 50 ayat al-Qur’an. Di Indonesia sendiri, di masjid ataupun mushola biasanya mengudarakan alarm imsak sepanjang Ramadhan. Sehingga kita bisa tahu kapan batas akhir untuk bersahur.

Lalu bagiamana praktik sahur santri Al Fithrah? Apakah sudah sesuai sunnah? Jawabnya sudah, karena sudah dilakukan setelah lewat tengah malam. Sedangkan kesunahan mengakhirkan waktu sahur, biasanya sebagian santri mencukupkan dengan minum air putih di penghujung imsak.

Waba’du; semoga puasa dan segala bentuk ibadah yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan mendapat Ridha Allah SWT. Amin.

Referensi:

Imam al-Nawawi, Riyadhu al-Shalihin hlm. 263

Syaikh al-Bakri al-Dimyathi, I’anatu al-Thalibin juz 2 hlm. 277

3 Tingkatan Puasa dan Cara Menapakinya.

Pekan pertama Ramadhan 1444 H. sudah kita lalui bersama. Sejak alarm imsak berbunyi hingga adzan maghrib berkumandang, kita menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa setiap harinya. Tapi, apakah puasa yang telah kita jalankan selevel dengan puasanya para kekasih Allah SWT?

Tingkatan Puasa

Dalam kitab Asroru al-Shaum, Imam Abu Hamid al-Ghazali memaparkan tiga tingkatan puasa; puasa orang awam, puasa orang istimewa, dan puasanya orang teristemewa.

Puasa orang awam berupa menjaga keinginan perut dan farji sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh.

Puasa orang istimewa berupa menjaga kelima indra dan anggota badan lainnya dari berbuat dosa.

Puasa orang teristimewa berupa menjaga hati dari tujuan yang rendah, memikirkan duniyawiyah dan dari selain Allah Swt secara totalitas.

Meningkatkan level puasa

Mengaca pada tujuh hari yang telah kita lalui barangkali kita masih di level puasa orang awam. Imam al-Ghazali dalam kitab yang sama memaparkan enam hal agar puasa kita bisa naik level.

Pertama, menjaga dan mencegah mata dari kebebasan melihat hal yang yang tercela dan dimakruhkan. Apalagi pada perkara yang berpotensi menyibukkan hati dari mengingat Allah SWT.

Kedua, menjaga lisan dari berbicara yang tidak bermanfaat, seperti berdusta, menggunjing, mengadu domba daln lainnya. Selanjutnya menyibukkan lisan dengan berzikir kepada Allah SWT dan membaca al-Qur’an.

Ketiga, menjaga pendengaran dari perhatian hal-hal yang dimakruhkan apalagi yang yang haram. Karena setiap perkara yang haram diucapkan, haram pula diperhatikan.

Keempat, menjaga anggota tubuh dari (berbuat) dosa. Berupa menjaga tangan dan kaki dari perkara yang makruh (dikerjakan) dan menjaga perut dari berbuka dengan perkara syubhat.

Kelima, tidak memperbanyak (mengonsumsi) makanan yang halal ketika berbuka, sehingga taka da ruang di perutnya. Sebab tidak ada bejana yang membuat Allah SWT murka, dari perut terlalu kenyang dengan makanan halal.

Keenam, etelah berbuka puasa, menyandarkan hati kepada Allah SWT. Memasrahkan puasa yang dilakukan antara berharap diterima dan takut ditolak oleh Allah SWT. Dan, hendaknya demikian setiap mengakhiri setiap ibadah.

Apakah dengan menjalankan enam hal di atas puasa kita otomatis naik level?

Mengikuti definisi puasa orang itimewa, harusnya begitu. Meskipun berat tentu layak kita coba. Untuk tingkatan puasa yang ketiga, tentu akan lebih berat lagi. Karena menurut Imam al-Ghazali, puasa tingkat ketiga ini adalah puasanya para Nabi, Shiddiqin dan a-Muqarrabin.

Waba’du; semoga puasa dan segala bentuk ibadah yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan mendapat Ridha Allah SWT. Amin.

*Dirangkum dari kitab Asraru al-Shaum min Ihyai ‘Ulumi al-Dini, karya Imam Abu Hamid al-Ghazali, hlm. 27-40.

Lupa Tidak Berniat Puasa Ramadhan di Malam Hari

Di Indonesia, umumnya niat puasa Ramadhan dibaca bersama-sama setelah rangkaian salat Tarawih dan Witir. Praktik seperti ini juga dijumpai di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya. Hal ini tentu baik, mengantisipasi kealpaan dalam berniat secara sendiri di malam hari.

Berniat puasa Ramadhan di malam hari, sudah sesuai dengan yang telah Rasulullah SAW tuntunkan;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامُ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلِا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak menginapkan (niat) puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.

Ulama’ fiqh menafsiri lafadz tabyit dengan waktu antara matahari tenggelam hingga terbitnya fajar. Dan, dalam Madzhab Syafi’i, tabyit menjadi syarat niat dalam puasa wajib, termasuk puasa Ramadhan. Lalu, bagaimana jika seseorang lupa berniat di malam hari?

Solusi bagi yang lupa tidak berniat puasa di malam hari

Ulama’ fiqh Madzhab Syafi’i bersepakat bahwa orang yang lupa tidak berniat puasa wajib di malam hari, puasanya tidak sah. Meskipun begitu, orang tadi tetap wajib melakukan puasa di hari itu dan menggantinya di bulan lain.

Beruntungnya kita, para Ulama’ tidak hanya merumuskan hukum suatu masalah saja. Mereka juga menyertakan solusi pada sebuah masalah yang mereka kaji. Termasuk perihal lupa tidak berniat di malam hari.

Solusi bagi yang lupa berniat di malam hari, adalah berniat di awal hari dengan bertaqlid (mengikuti) pada pendapat Imam Abu Hanifah. Solusi ini tertuang dalam kitab I’anatu al-Thalibin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Tuhfatu al-Muhtaj, dan Fiqhu al-‘Ibaadaat ‘alaa Madzhabi al-Syafi’i.

Redaksi niatnya seperti berikut,

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ، تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ، لِلّٰهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma hadzal yaumi ‘an adaa-i fardhi ramadlaani hadzihis sanati, taqliidan lil imaami abi haniifata, lilllahi ta’ala.

Aku berniat puasa hari ini demi menunaikan kewajiban (bulan) Ramadhan tahun ini, dengan mengikuti Imam Abu Hanifah, karena Allah Ta’ala

Dengan berniat seperti ini, puasa orang berniat setelah fajar akan tetap sah menurut Madzhab Hanafi. Namun, jika seseorang berniat di awal hari tanpa disertai bertaqlid pada Imam Abu Hanifah, maka dianggap mencapur adukkan ibadah yang rusak dalam keyakinannya.  Dan, yang seperti ini hukumnya haram.

Kesimpulan

Solusi dari Ulama’ Madzhab Syafi’iyah, jika seseorang lupa tidak berniat puasa Ramadhan di malam hari dan agar puasanya tetap sah; dengan puasa Ramadhan di awal hari dengan bertaqlid pada Imam Abu Hanifah. Perlu diingat, solusi ini berlaku hanya bagi yang lupa berniat, bukan yang sengaja tidak berniat.

Wallahu a’lam

Referensi:

I’anatu al-Thalibin, juz 2 hlm 249

al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 2 hlm. 299

Tuhfatu al-Muhtaj, juz 3 hlm 378

Fiqhu al-‘Ibaadaat ‘alaa Madzhabi al-Syafi’I, juz 2 hlm 9

Anjuran Bersegera Berbuka Puasa dan Do’a Berbuka Puasa

Tak terasa kita akan menyelesaikan pekan pertama bulan Ramadhan. Bulan yang penuh dengan kesunahan dan ganjaran. Di antara kesunahan yang disampaikan langsung oleh Rasulullah SAW, adalah kesunahan menyegerakan berbuka puasa.

Dalil menyegerakan berbuka

Ada banyak hadits yang menginformasikan anjuran Rasulullah SAW untuk menyegerakan berbuka.  Di antaranya yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka.”

Para sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud ra juga menyegerakan berbuka puasa. Ketika Masyruq menanyakan perihal itu kepada Sayyidatina Aisyah RAH, Beliau RAH mengkonfirmasi bahwa hal serupa juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Menilik pada hadits yang lain, Nabi SAW tidak berlebih-lebihan dalam berbuka. Beliau SAW hanya berbuka dengan kurma  dan air. Setelah itu beliau bersegara melakukan shalat Maghrib.

Do’a setelah berbuka.

Banyak versi redaksi do’a setelah berbuka puasa yang tertulis di berbagai kitab. Di antara yang lazim kita dengar sebagai berikut;

اللّٰهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الأجْرُ، إِنْ شَاءَ اللهُ

Allahumma laKa shumtu, wa biKa amantu, wa ‘alaa rizkiKa afthartu, dzahabadh dhamau wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa-aLlah.

“Ya Allah, untuk-Mu aku telah berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku telah berbuka. Telah sirna rasa dahaga, urat-urat telah basah, dan (semoga) pahala telah ditetapkan, insyaaAllah.”

Setelah ditelusuri, redaksi do’a tadi terdapat dalam kitab Fathu al-Mu’in dan Nihayatu al-Zain. Waba’du; selamat melanjutkan ibadah puasa Ramadhan dan merengkuh berbagai kesunnahan di dalamnya. Semoga segala hal yang kita lakukan selama Ramadhan bernilai ibadah dan mendapat Ridha dari-Nya. Amin.

Referensi:

(1) Riyadhu al-Shalihin hlm. 347,

(2) I’anatu al-Thalibin Juz 2 hlm. 277-279,

(3) Nihayatu al-Zain hlm. 194

Wadhifah Shalawat di bulan Ramadhan

Di bulan Ramadhan, Hadrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori al-Ishaqi menuntunkan para murid, santri dan jama’ahnya untuk membaca tiga shalawat; Habibil Mahbub, Thibbil Qulub dan Qad Dlaqat.

اَللّٰــهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، الْحَبِيْبِ الْمَحْبُوْبِ شَافِى الْعِلَلِ وَمُفَرِّجِ الْكُرُوْبِ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin, al-habiibil mahbuubi, syaafil ilali wa mufarrijil kuruub, wa ‘alaa aalihi washahbihi wa sallim.

اَللّٰـــهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا، وَعَافِيَةِ الْأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا، وَنُوْرِ الْأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا، وَقُوْتِ الْأَرْوَاحِ وَغِدَائِهَا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin, thibbil quluubi wa dawaa-ihaa, wa ‘aafiyatil abdaani wa syifaa-ihaa, wa nuuril abshaari wa dliyaa-ihaa, wa quutil arwaahi wa ghidaa-ihaa, wa ‘alaa aalihi washahbihi wa sallim.

اَللّٰـــهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ، أَدْرِكْنِيْ وَأَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin, qad dlaaqat hiilatii, adriknii wa aghitsnii yaa Rasuulallah.

Ketiga shalawat ini dianjurkan dibaca masing-masing 100 kali setiap harinya. Dan, dibaca masing-masing 1.000 kali setiap malam Jum’at. Ketiganya dibaca sepanjang bulan Ramadhan, mulai malam 1 Ramadhan hingga Ramadhan usai.

Referesi: al-Nafahaat hlm 59-60 dan 64